Translate

Cek Semua No Resi Anda Di Sini

SISTEM PERADILAN DI INDONESIA

Tidak ada negara yang tidak menginginkan adanya ketertiban tatanan di dalam masyarakat. Setiap negara mendambakan adanya ketenteraman dan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat, yang sekarang lebih populer disebut "stabilitas nasional'. Kepentingan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, karena selalu terancam oleh bahaya-bahaya disekelilingnya, memerlukan perlindungan dan harus dilindungi. Kepentingan manusia akan terlindungi apabila masyarakatnya tertib dan masyarakatnya akan tertib apabila terdapat keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Setiap saat keseimbangan tatanan dalam masyarakat dapat terganggu oleh bahaya-bahaya disekelilingnya.

Masyarakat berkepentingan bahwa keseimbangan yang terganggu itu dipulihkan kembali. Salah satu unsur untuk menciptakan atau memulihkan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat adalah penegakan hukum atau peradilan yang bebas/mandiri, adil dan konsisten dalam melaksanakan atau menerapkan peraturan hukum yang ada dan dalam menghadapi pelanggaran hukum, oleh suatu badan yang mandiri, yaitu pengadilan. Bebas/mandiri dalam mengadili dan bebas/mandiri dari campur tangan pihak ekstra yudisiil. Kebebasan pengadilan, hakim atau peradilan merupakan asas universal yang terdapat di mana-mana. Kebebasan peradilan merupakan dambaan setiap bangsa atau negara. Di mana- mana pada dasarnya dikenal asas kebebasan peradilan, hanya isi atau nilai kebebasannya yang berbeda. Isi atau nilai kebebasan peradilan di negara-negara Eropa Tirnur dengan Amerika berbeda, isi dan nilai kebebasan peradilan di Belanda dengan di Indonesia tidak sama, walaupun, semuanya mengenal asas kebebasan peradilan tidak ada negara yang rela dikatakan bahwa negaranya tidak mengenal kebebasan peradilan atau tidak ada kebebasan peradilan di negaranya. Tidak ada bedanya dengan pengertian hak asasi manusia, yang sekarang sedang banyak disoroti hak asasi bersifat universal, sem ua Negara "mengklaim" menghormati hak-hak asasi manusia, tetapi nilai dan pelaksanaannya berbeda satu sama lain. Adil, tidak hanya bagi pencari keadilan saja tetapi juga bagi masyarakat, tidak memihak, objektif, tidak konsisten dalarn memutuskan, dalarn arti perkara yang sarupa harus diputus serupa pula. Tidak ada dua perkara yang sama. Setiap perkara harus ditangani secara individual, secara kasuistis dengan mengingat bahwa motivasi, situasi, kondisi dan waktu terjadinya tidak sama. Akan tetapi kalau ada dua perkara yang sejenis atau serupa maka harus diputus sejenis atau serupa pula. Ini merupakan "postulaat keadilan" perkara yang serupa diputus sama. Kalau perkara yang serupa diputus berbeda maka akan dipertanyakan. Negara dan bangsa Indonesia pun menghendaki adanya tatanan masyarakat yang tertib, tenteram, damai dan seimbang, sehingga setiap konflik, sengketa atau pelanggaran diharapkan untuk dipecahkan atau diselesaikan. Hukum harus ditegakkan, setiap pelanggaran hukum harus secara konsisten ditindak, dikenai sanksi. Kalau setiap pelanggaran hukum ditindak secara konsisten maka akan timbul rasa aman dan damai, karena ada jaminan kepastian hukum. Untuk itu diperlukan peradilan, yaitu pelaksanaan hukum dalam hal konkrit adanya tuntutan hak, fungsi mana dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dan diadakan oleh negara serta bebas dari pengaruh apa atau siapapun dengan cara memberikan putusan yang bersifat mengikat dan bertujuan mencegah "eigenrichting".

Sekalipun peradilan Indonesia dewasa ini dasar hukumnya terdapat dalam UU no.14 tahun 1970 jo. pasal 24 dan 25 UUD namun pada hakekatnya merupakan warisan dari zaman Hindia Belanda.

Pasal 24

(1) Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-­undang

(2) Susunan dan kekuasaan badan-badan kehakiman itu diatur dengan undang-undang

Pasal 25

Syarat untuk menjadi dan untuk diperhentikan sebagai hakim ditetapkan dengan undang-undang

Dua pasal UUD itu masih memerlukan peraturan organik untuk melaksanakannya. Peraturan organik itu tertuang dalam Undang-undang no.14 tahun 1970. Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi, demikianlah bunyi pasal 10 ayat 2. Kemudian di dalam pasal 11 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 ditentukan bahwa organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat duanya berbunyi bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Kalau disimak maka UU no.14 tahun 1970 itu, kalau tidak boleh dikatakan bertentangan, tidak sesuai dengan pasal 24 UUD. Pasal24 UUD menghendaki bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan lain-lain badan kehakiman menurut undang-undang. Undang-undang no.14 tahun 1997 pasal11 ayat 1 menentukan bahwa badan-badan yang melakukan peradilan tersebut dalam pasal 10 ayat 1 organisatoris, administratif dan finansiil ada di bawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutan, sedangkan ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung mempunyai organisasi, administrasi dan keuangan sendiri. Adanya dualisme peradilan itu seringkali dijadikan alasan mengapa hakim atau peradilan itu sekarang tidak bebas, yaitu karena hakim mempunyai dua atasan. Dualisme sering dijadikan alasan mengapa peradilan sekarang ini tidak lagi memenuhi harapan, tidak lagi berfungsi sebagai tempat pelarian terakhir atau benteng terakhir bagi pencari keadilan.

Sebelum kurang lebih tahun 70an keadaan peradilan kita masih baik, tidak banyak terdengar berita-berita tentang peradilan yang negatif, putusan-putusan tidak sedikit yang profesional dan bermutu, kalaupun ada suap atau kolusi tidaklah sebanyak layaknya seperti sekarang ini.

Integritas sumber daya manusia terutama di bidang peradilan harus dapat dihandalkan. Peradilan kita harus bebas, bersih dan profesional. Berikut ini saya kutipkan beberapa pendapat tentang betapa pentingnya integritas sumber daya manusia di bidang peradilan.

Semua peradilan di seluruh wilayah Indonesia adalah peradilan negara dan ditetapkan dengan undang-undang, sedangkan yang menduduki tempat yang tertinggi dalam sistem peradilan kita adalah Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi. Mahkamah Agung mempunyai beberapa fungsi atau tugas. Pertama, Mahkamah Agung mempunyai fungsi peradilan (yustisiil). Mahkamah Agung sebagai badan kehakiman, yang melakukan kekuasaan kehakiman, menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dengan tugas pokok menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan setiap perkara (pasal 28, 29, 30 UU no.14 th 1985 jo. pasal 1, 2 ayat 1 UU no.14 th 1970). Dalam fungsi yustisiil ini Mahkamah Agung memutus pada tingkat peradilan pertama dan terakhir, yaitu mengenai semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan dalam lingkungan yang berbeda dan semua perselisihan tentang kekuasaan mengadili antara badan-badan peradilan sederajat yang termasuk wewenang Pengadilan Tinggi yang berlainan. Di samping itu Mahkamah Agung memutus pada peradilan tingkat banding atas putusan-putusan wasit.

Dalam tingkat terakhir Mahkamah agung memutus terhadap putusan yang diberikan oleh pengadilan-pengadilan lain selain Mahkamah Agung dalam tingkat terakhir. Kasasi bukanlah merupakan pemeriksaan dalam tingkat ke 3, karena dalam tingkat kasasi tentang peristiwanya tidak diperiksa lagi, melainkan hanya segi hukumnya. Mahkamah Agung wenang pula untuk menyatakan dalam tingkat kasasi tidak sah semua peraturan perundang-undangan dari tingkat yang lebih rendah dari undang­-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Ini berarti bahwa Mahkamah Agung melakukan pengujian materiel terhadap peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Kalau tidak ada perkara diajukan ke Mahkamah Agung dalam tingkat kasasi, Mahkamah Agung tidak dapat menyatakan tidak sah suatu peraturan perundang-undangan. Peninjauan kembali merupakan wewenang yustisiil Mahkamah Agung juga. Putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap apabila memenuhi syarat dapat dimintakan peninjauan kembali.

Selanjutnya Mahkamah Agung sebagai pengadilan tertinggi mempunyai funqsi kedua yaitu memimpin peradilan dalam pembinaan dan pengembangan hukum dan sekaligus mengembangkan hukum Indonesia melalui putusan­-putusannya kearah kesatuan hukum dan peradilan. Fungsi Mahkamah Agung yang ketiga adalah menqatur.

Mahkamah Agung berwenang untuk menentukan penyelesaian suatu persoalan yang belum diatur acaranya (pasal 79 UU no.14 th 1985). Apabila tidak atau belum diatur dalam undang-undang, khususnya mengenai jalannya peradilan, agar peradilan dapat berjalan lancar, Mahkamah Agung wajib menciptakan peraturannya. Mengingat akan fungsinya sebagai lembaga yudikatif maka apa yang dapat atau boleh dibuat atau diciptakan oleh Mahkamah Agung bukanlah peraturan yang bersifat umum mengikat setiap orang. Dalam hal ini jangan sampai Mahkamah Agung melanggar ajaran tentang pembagian kekuasaan. Dalam fungsi mengatur Mahkamah Agung harus membatasi diri untuk tidak memasuki hukum materiel. Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif, informatif dan instruktif.

Mahkamah Agung dapat menciptakan peraturan yang bersifat normatif yang berupa Peraturan Mahkamah Agung (Perma) seperti misalnya Perma 1/1990 tentang tata cara pelaksanaan putusan arbitrase asing, yang sekaligus merupakan pedoman kerja. Apabila ada hal-hal yang perlu segera diketahui oleh para hakim dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA), yang bersifat informatif dan sering juga instruktif seperti misalnya SEMA 3/1963. Dengan SEMA 3/1963 Mahkamah Agung pada hakekatnya hendak menginstruksikan para hakim menyesuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Akan tetapi sementara orang (termasuk hakim) berpendapat bahwa SEMA 3/1963 itu mempunyai kekuatan membatalkan KUHPerdata. Tujuan SEMA 3/1963 itu baik, yaitu agar para hakim menyeseuaikan KUHPerdata dengan perkembangan masyarakat. Dilihat dari segi yuridis formal SEMA 3/963 sebagai produk Mahkamah Agung tidak mempunyai kekuatan untuk membatalkan undang-undang mengingat Mahkamah Agung hanya mempunyai wewenang di bidang yudikatif bukan legislatif.

Fungsi Mahkamah Agung juga sebagai penasehat. Dalam pasal 25 Undang-undang no. 14 tahun 1970 ditentukan bahwa semua pengadilan dapat memberi keterangan, pertimbangan dan nasehat-nasehat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta. Di samping itu TAP MPR no VI/MPR/1973 pasal 11 ayat 2 menentukan bahwa Mahkamah Agung dapat memberikan pertimbangan dan nasihat-nasihat tentang soal-soal hukum kepada Lembaga Negara lainnya apabila diminta, sedangkan TAP MPR noVII/MPR/1973 pasal 11 ayat 3 menentukan bahwa Mahkamah Agung memberikan nasihat hukum kepada Presiden/Kepala Negara untuk pemberian/penolakan grasi. Fungsi lainnya dari Mahkamah Agung adalah pengawasan. Sudah selayaknya kalau Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi mempunyai fungsi pengawasan terhadap perbuatan pengadilan lainnya (pasal 10 ayat 4 UU no.14 th 1970). Untuk meningkatkan citra peradilan kita dalam hal ini pengawasan oleh Hawas (hakim pengawas) terhadap hakim-hakim perlu lebih ditingkatkan frekuensi serta intensivitasnya. Eksaminasi sebagai sarana untuk mengevaluasi para hakim perlu dihidupkan kembali.

Fungsi Mahkamah Agung yang lainnya memiliki fungsi administratif. Dasar hukum fungsi administratif Mahkamah Agung ini terdapat dalam pasal 11 ayat 2 Undang-undang no.14 tahun 1970 yang mengatakan bahwa Mahkamah Agung mempunyai administrasinya sendiri.

Ada 4 lingkungan peradilan negara yang kesemuanya berpuncak pada Mahkamah Agung. Empat lingkungan peradilan itu dapat dibagi menjadi dua, yang bersifat umum, yaitu lingkungan peradilan umum (peradilan dengan general jurisdiction), dan yang bersifat khusus (peradilan dengan special jurisdiction), yaitu lingkungan peradilan agama, Iingkungan peradilan militer dan lingkungan peradilan tata usaha negara (pasal10 ayat 1 UU no.14 th 1970). Disebut sebagai peradilan umum karena peradilan umum ini diperuntukkan bagi semua warga masyarakat tanpa membedakan golongan atau agama.

Di dalam peradilan umum masih dikenal spesialisasi seperti pengadilan ekonomi. Peradilan khusus disediakan untuk yustisiabele atau pencari keadilan yang khusus (beragama Islam, militer) atau yang menggunakan hukum materiil khusus (hukum pidana militer, hukum Islam). Khas bagi peradilan agama terdapat pilihan hukum orang Indonesia asli yang beragama Islam khususnya dalam pembagian warisan dapat memilih tunduk pada hukum adat yang menjadi wewenang peradilan.

Di samping 4 lingkungan peradilan negara seperti yang disebutkan dalam pasal 10 ayat 1 Undang-undang no.14 tahun 1970 sistem peradilan kita masih mengenal peradilan sui generis atau peradilan semu yang tidak diatur dalam Undang-undang no.14 tahun 1970. Dikatakan "semu" karena petugas yang diberi wewenang untuk memeriksa dan menyelesaikan konflik atau pelanggaran bukanlah petugas yang khusus diangkat untuk itu seperti hakim pada pengadilan negeri, akan tetapi mempunyai tugas rangkap. Termasuk peradilan semu ialah peradilan perburuhan (UU no.22 th 1957), peradilan perumahan (PP no.55 th 1981 jo. PP no.49 th 1963), peradilan pelayaran (Skp. Mphbl. No.Kab 4/3/24 jo. S 1949 no.103).

Hakim sebagai manusia tidak luput dari kekurangan dan kekhilafan, sehingga putusan yang dijatuhkannya belum tentu cermat, tepat dan adil. Untuk mengantisipasi hal itu dan untuk memenuhi rasa keadilan maka peradilan dibagi menjadi dua tingkat, yaitu peradilan tingkat pertama (peradilan dengan original jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat awal atau permulaan dan peradilan tingkat banding (peradilan dengan appellate jurisdiction), yaitu peradilan dalam tingkat pemeriksaan ulang. Oleh karena itu pada asasnya putusan yang telah dijatuhkan pada peradilan tingkat pertama yang belum tentu cermat, benar serta adil dimungkinkan untuk dimintakan keadilan kepada pengadilan yang lebih tinggi dalam tingkat banding. Semua lingkungan peradilan negara mengenal dua tingkatan peradilan itu, pada asasnya pembagian ini bersifat universal. Di dalam dua tingkatan peradilan itu diperiksa baik peristiwa maupun hukumnya. Jadi peradilan umum mengenal Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi, peradilan agama, Pengadilan Agama dan Pengadilan Tinggi Agama, peradilan militer, Mahkamah Militer dan Mahkamah Militer Tinggi, sedangkan peradilan tata usaha negara atau administrasi, Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara. Di dalam sistem peradilan Indonesia, seperti yang telah diketengahkan dimuka masih dikenal pemeriksaan kasasi yang pada umumnya tidak dianggap sebagai peradilan tingkat ketiga karena di tingkat kasasi di Mahkamah Agung tidak dipenksa ulang mengenai peristiwanya, tetapi hanyalah segi hukumnya saja. Pada asasnya putusan banding atau ulang dari peradilan tingkat banding dan semua Iingkungan peradilan negara dapat dimintakan kasasi kepada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.

Referensi:

Gunawan Setiardja, A. 1993, Hak-hak asasi manusia berdasarkan ideologi Pancasila, Penerbit Kanisius

Masyhur Effendi, H.A. 1994, Hak asasi manusia dalam hukum nasional dan intemasional, Ghalia Indonesia

Sudikno Mertokusumo, 1973, Sejarah peradilan dan perundang-undangannya di Indonesia sejak 1942, PT Gunung Agung