Translate

Cek Semua No Resi Anda Di Sini

PERNIKAHAN DIBAWAH UMUR

Kita pasti belum lupa tentang pernikahan dini yang kasusnya menghebohkan jagat hukum nasional yang dilakukan oleh Syekh Puji terhadap Lutfiana Ulfa, yang pada realitanya, Lutfiana Ulfa adalah gadis berusia 12 tahun. Kasus pernikahan ini menimbulkan pertanyaan dimasyarakat, bagaimana pandangan hukum Islam tentang pernikahan Syekh Puji dengan Ulfa tersebut? Sah atau tidak? kontroversi pendapat pun muncul. Sebagian kelompok/kalangan menjawab sah, dan sebagian kelompok/kalangan yang lain menjawab tidak sah.

Kelompok/kalangan yang menjawab sah, argumentasi hukumnya karena rukun dan syarat nikah telah terpenuhi sehingga sesuai dengan pasal 2 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan pasal 4 Kompilasi Hukum Islam (KHI). Wali, saksi, mahar dan akad (ijab dan qabul) ada. Soal umur yang masih 12 tahun tidaklah menjadi suatu masalah dengan alasan pernikahan Nabi Muhammad SAW dengan Aisyah. Sebaliknya, Kelompok/kalangan yang menjawab tidak sah dan bisa dibatalkan karena pernikahan tersebut melanggar ketentuan pasal 2 dan 7 UU Nomor 1 tahun 1974 dan pasal 5 dan 15 KHI. Ketentuan tersebut mengatur bahwa setiap pernikahan harus sesuai dengan hukum agama dan dicatat oleh Pegawai Pencatat Nikah serta calon isteri minimal berusia 16 tahun, jika belum mencapai umur tersebut harus mengajukan dispensasi kawin ke Pengadilan Agama.

Salah satu konsep penting dan fundamental adalah konsep maqasid al‑syariah yang menegaskan bahwa hukum Islam disyari'atkan untuk mewujudkan dan memeli­hara maslahat umat manusia. Konsep ini telah diakui oleh para ulama dan oleh karena itu mereka memformulasikan suatu kaidah yang cukup populer,"Di mana ada maslahat, di sana terdapat hukum Allah". Inti dari konsep maqasid al‑syariah adalah untuk mewujudkan kebaikan sekali­gus menghindarkan keburukan atau menarik manfaat dan menolak madarat.

Syari'ah Islam sebenarnya tidak memiliki tujuan lain kecuali kemaslahatan manusia. Hukum harus didasarkan pada sesuatu yang tidak disebut hukum, tetapi lebih mendasar dari hukum. Yaitu sebuah sistem nilai yang dengan sadar dianut sebagai keyakinan yang harus diperjuangkan maslahat dan keadilannya.

Dengan demikian, jelas bahwa yang fundamental dari bangunan pemikiran hukum Islam adalah kemaslahatan, maslahat manusia universal, atau ‑dalam ungkapan yang lebih operasional‑ "keadilan sosial". Tawaran teoritik (ijtihadi) apa pun dan bagaimana pun, baik didukung dengan nas atau pun tidak, yang bisa menjamin terwujudnya maslahat kemanu­siaan, dalam kacamata Islam adalah sah, dan umat Islam terikat untuk mengambilnya dan merealisasikannya.

Sebalikn­ya, tawaran teoritik apa pun dan yang bagaimana pun, yang se­cara meyakinkan tidak mendukung terjaminnya maslahat, lebih lebih yang membuka kemungkinan terjadinya kemudaratan, dalam kacamata Islam, adalah fasid, dan umat Islam secara orang perorang atau bersama‑sama terikat untuk mencegahnya.

Dengan paradigma di atas, kaidah yang selama ini dipegang oleh dunia fiqh yang berbunyi: Apabila suatu hadis teks ajaran telah dibuktikan kesahihannya, itulah mazhabku, secara meyakinkan perlu ditinjau kembali. Kaidah inilah yang secara sistematis telah menggerakkan dunia pemikiran, khususnya pemikiran hukum, dalam Islam lebih mengutamakan bunyi ketentuan legal‑formal, daripada tuntutan maslahat (keadilan), yang notabene merupakan jiwanya. Sebagai gantinya, kita perlu menegakkan kaidah yang berbunyi: jika tuntutan maslahat, keadilan, telah menjadi sah‑ melalui kesepaka­tan dalam musyawarah‑ itulah mazhabku.

Dengan tawaran kaidah tersebut, bukan berarti segi formal dan tekstual dari ketentuan hukum harus diabaikan. Ketentuan legal‑formal‑tekstual yang sah, bagaimana pun, harus menjadi acuan tingkah laku manusia dalam kehidupan bersama, kalau tidak ingin menjadi anarki. Akan tetapi, pada saat yang sama, haruslah disadari bahwa patokan legal‑formal dan tekstual hanyalah merupakan cara bagaimana cita maslahat, keadilan, itu diaktualisasikan dalam kehidupan nyata.

Apabila jalan pikiran di atas disepakati, secara menda­sar kita akan bisa memahami paradigma berpikir yang dibangun baik oleh kelompok yang menganggap pernikhan Syekh Puji dan Ulfa itu sah atau kelompok yang menganggap tidak sah dan kita juga bisa menjawab mana pemahaman diantara kedua kelompok tersebut tentang pasal 2 dan 7 UU Nomor 1 tahun 1974 dan pasal 5 dan 15 KHI yang lebih dekat dengan maslahat dan keadilan.

Mana yang lebih maslahat antara pernikahan itu dicatat atau tidak? Mana yang lebih maslahat antara nikah diusia yang masih anak-anak atau yang sudah dewasa? Mana yang lebih maslahat bagi anak-anak antara dia sekolah atau dia harus menikah? Tiga pertanyaan ini harus dijawab dan dibuktikan dulu baru kita memilih mana diantara pendapat dua kelompok diatas yang lebih maslahat.

Dan tentu yang lebih maslahat, itulah yag harus kita ikuti, karena itu yang sesuai dengan tujuan hukum Islam. Wallahu a’lam.

NALISIS KASUS PERNIKAHAN DINI SYEKH PUJI DENGAN LUTFIANA ULFA

Salah satu problematika yang sedang hangat dibicarakan beberapa hari terakhir ialah adanya kontroversi pernikahan dini yang dilakukan oleh Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa. Pernikahan yang dilakukan oleh Syekh Puji dan Lutfiana Ulfa menjadi menarik dibicarakan karena pernikahan tersebut melibatkan mempelai wanita yang masih berusia 12 tahun.

Dalam perspektif masyarakat di Indonesia, hal-hal seperti yang dilakukan oleh Syekh Puji ini sebenarnya adalah hal yang lazim dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat di beberapa daerah.

Beragamnya latar belakang serta kebudayaan masyarakat di Indonesia menyebabkan perihal pernikahan dini ini menjadi suatu hal yang kontroversial. Masyarakat yang berlatar belakang penganut agama Islam yang kuat menganggap bahwa pernikahan yang dilakukan oleh Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa adalah sutu hal yang halal dan tidak ada masalah karena syarat-syarat sahnya pernikahan menurut hukum agama Islam sudah terpenuhi.

Namun apabila dilihat dari perspektif hukum nasional, pernikahan yang dilakukan oleh Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa ini terindikasi telah melanggar beberapa aturan perundang-undangan.

I. Pernikahan Dini Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan

Peristiwa pernikahan dini Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa belakangan ini menjadi perbincangan hangat di masyarakat karena pernikahan ini melibatkan seorang gadis belia yaitu Lutfiana Ulfa yang baru berusia 12 tahun. Peristiwa tersebut banyak dipersoalkan oleh beberapa pihak. Pernikahan tersebut ditengarai telah melanggar tiga ketentuan peraturan perundang-undangan sekaligus yaitu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang. Penulis mencoba mengutip beberapa pernyataan dari beberapa pihak yang berkaitan dengan kasus pernikahan kontroversial tersebut.

Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan Meutia Hatta menuturkan, pernikahan dini itu mempunyai implikasi yang serius bagi anak khususnya perempuan. Termasuk bahaya kesehatan, trauma psikis berkepanjangan, gangguan perkembangan pribadi, dampak sosial seperti putus sekolah, kesempatan ekonomi yang terbatas, dan seringkali sebagai pemicu perceraian dini. "Tingginya angka usia perkawinan dini berkaitan dengan terlalu cepatnya anak-anak kehilangan aksesibilitas pada pendidikan," ucap Meutia Hatta dalam konferensi press 'Dampak Penikahan Dini' yang digelar oleh Departemen Komunikasi dan Informasi, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Senin (3/11/2008).

Ketua MUI Huzaimah yang juga hadir dalam konferensi press tersebut menekankan, agar masyarakat tidak terpengaruh dan ikut-ikutan dengan tindakan Syekh Puji yang menikahi anak di bawah umur. MUI menjelaskan dasar menikah adalah memiliki kesiapan materi, mental, dan kejiwaan. Sehingga tujuan berumah tangga dengan membangun keluarga yang penuh cinta dan kasih sayang dapat diwujudkan. Dikhawatirkan apabila seorang gadis yang belum dewasa menikah akan mengalami kebingungan dalam memahami arti cinta dan kasih saying. "Lalu kalau anak-anak, bagaimana mereka memaknai cinta dan kasih sayang?" tanya Huzaimah.
Sementara Menteri Komunikasi dan Informasi Muhammad Nuh juga menghimbau agar media massa lebih arif dalam memberi porsi pemberitaan dalam kasus ini. Untuk menghindarkan kemungkinan trauma psikologis di masa mendatang, seorang anak wajib mendapat perlindungan dalam hal publikasi. Sehingga sebaiknya wajah, maupun nama lengkap anak tidak dibuka terang-terangan di media massa. "Seorang anak yang sudah menjadi korban hendaknya tidak lagi dikorbankan dalam pemberitaan media."
Untuk membahas perihal pernikahan kontroversial ini, marilah kita melihat ketentuan peraturan perundang-undangan yang terindikasi telah dilanggar dalam pernikahan tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, terdapat ketentuan yang kontradiktif yaitu dalam Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) di mana dalam ayat (1) menyatakan bahwa Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Sedangkan dalam ayat (2) menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Adanya 2 ketentuan ini sungguh bertolak belakang. Menurut pemahaman dalam teori hukum Islam, pernikahan yang dilakukan syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa adalah sah karena syarat-syarat sahnya perkawinan menurut hukum agama Islam sudah terpenuhi. Namun pencatatan perkawinan tersebut terganjal ketentuan lain yang berkaitan dengan syarat-syarat perkawinan dalam Undang-Undang tersebut sehingga Perkawinan yang dilakukan oleh Syekh Puji tidak bisa dicatatkan.

Ketentuan yang mengganjal tersebut ialah terdapat dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Dalam ayat (1) terdapat ketentuan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Di sini pihak Lutfiana Ulfa yang belum mencapai umur 16 tahun telah mengajukan upaya permohonan dispensasi nikah sebagaimana ketentuan dalam Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang menyatakan bahwa apabila ada penyimpangan terhadap ketentuan ayat (1) dapat dimohonkan adanya dispensasi nikah kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk.

Dispensasi nikah Lutfiana Ulfa untuk menikah secara resmi dan sesuai undang-undang dengan Pujiono Cahyo Widianto atau Syekh Puji telah diajukan oleh pihak keluarga Lutfiana Ulfa melalui ayahnya yaitu Suroso kepada Pengadilan Agama Kabupaten Semarang. Permohonan dispensasi nikah ini pun akhirnya ditolak Pengadilan Agama Kabupaten Semarang. Dispensasi nikah yang diajukan ayah Ulfa, Suroso ditolak majelis hakim setelah dalam dua agenda sidang terakhir, pihak pemohon yakni Suroso tidak hadir dalam persidangan. Di samping itu, pemohon juga tidak dapat menunjukkan dan membuktikan apa yang diminta pemohon ke hadapan majelis hakim yang diketuai Rochana, S.H.

Berikut penulis kutipkan pernyataan dari ketua majelis hakim Pengadilan Agama Kabupaten Semarang yang menangani permohonan dispensasi nikah Lutfiana Ulfa.
"Kami tidak dapat mengabulkan permohonan dispensasi nikah yang diajukan pemohon. Sebab, dalam dua kali persidangan pemohon tidak hadir. Selain itu, pemohon tidak dapat membuktikan apa yang diminta selama di pengadilan," kata Rochana di Ambarawa, Rabu (12/11/2008).

Permohonan dispensasi nikah ini diajukan pihak keluarga Lutfiana Ulfa dalam hal ini Suroso, ayahanda Lutfiana Ulfa, pada 29 September lalu. Hal itu dilakukan setelah pihak Kantor Urusan Agama Kecamatan Jambu menolak pengajuan pendaftaran perkawinan Lutfiana Ulfa dengan Syekh Puji. Sesuai Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pengajuan dispensasi nikah dapat dilakukan jika usia salah satu mempelai belum mencukupi usia perkawinan seperti yang diatur dalam Undang-Undang tersebut.

II. Pernikahan Dini Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak khususnya dalam Pasal 1 ayat (1) menyatakan bahwa yang dimaksud anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Melalui ketentuan ini, maka dapat diketahui bahwa mempelai wanita, Lutfiana Ulfa, masih dikategorikan sebagai anak-anak sehingga hak-haknya harus dilindungi.

Sedangkan dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa perlindungan terhadap anak bertujuan untuk menjamin terpenuhinya hak-hak anak agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi, demi terwujudnya anak Indonesia yang berkualitas, berakhlak mulia, dan sejahtera.
Dalam Pasal 4 dinyatakan bahwa Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Ketentuan lain yang berkaitan ada dalam Pasal 6 yang menyatakan bahwa Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua. Ketentuan-ketentuan tersebut bisa dikatakan telah dilanggar karena dengan menikahnya Lutfiana Ulfa yang masih dikategorikan sebagai anak dalam Undang-Undang ini, maka dikhawatirkan lutfiana Ulfa tidak dapat tumbuh, berkembang, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi karena beralihnya status Lutfiana Ulfa dari seorang anak menjadi ibu rumah tangga yang berarti pula bahwa Lutfiana Ulfa telah lepas dari bimbingan orang tuanya sesuai ketentuan yang ada dalam Pasal 6.

Selain itu ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) juga menyatakan bahwa setiap anak berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya. Selain itu dalam Pasal 11 juga dinyatakan bahwa setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri. Seperti diketahui bersama bahwa semenjak Lutfiana Ulfa menikah dengan Syekh Puji, Lutfiana Ulfa tidak bersekolah lagi. Hal tersebut jelas melanggar ketentuan dalam Pasal 9 ayat (1) Undang-Undang ini. Dengan tidak bersekolahnya Lutfiana Ulfa, maka dia tidak dapat memperoleh pendidikan dan pengajaran melalui jalur pendidikan formal yang pada akhirnya akan menghambat pengembangan karakter pribadi dalam diri Lutfiana Ulfa. Selain itu juga mengurangi hak Lutfiana Ulfa untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang serta bergaul, bermain dengan teman-teman sebayanya karena Lutfiana sudah berstatus sebagai istri Syekh Puji yang berarti bahwa Lutfiana sudah memiliki kewajiban terhadap suaminya yaitu Syekh Puji.
Dalam Pasal 26 ayat (1) terdapat ketentuan bahwa Orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk :

a. Mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak;

b. Menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan

c. Mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak.

Melihat ketentuan ini bisa dikatakan bahwa orang tua Lutfiana Ulfa telah melakukan pelanggaran hak anak yaitu bahwa orang tua Lutfiana Ulfa telah melalaikan kewajiban untuk mengasuh, memelihara, mendidik dan melindungi anak seperti yang tercantum dalam Pasal 26 ayat (1) huruf a di atas.

Selain itu juga orang tua Lutfiana Ulfa telah melakukan pelanggaran hak anak karena tidak berusaha untuk mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak seperti ketentuan dalam Pasal 26 ayat (1) huruf c di atas..


III. Pernikahan Dini Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa dalam Perspektif Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang

Pada subbab ini penulis mencoba mengetengahkan ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang yang sepertinya beberapa ketentuan di dalamnya dapat dikenakan kepada Syekh Puji dan Lutfiana Ulfa.

Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, penulis tidak menemukan banyak ketentuan yang menurut hemat penulis telah dilanggar dengan adanya pernikahan dini antara Syekh Puji dengan Lutfiana Ulfa.

Dalam Pasal 1 ayat (5) terdapat definisi yang dimaksud dengan anak ialah Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dengan ketentuan ini, jelas bahwa Lutfiana Ulfa yang masih berusia 12 tahun dapat dikategorikan sebagai seorang anak.

Sedangkan dalam Pasal 1 ayat (7) terdapat definisi eksploitasi, yaitu tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiil maupun inmateriil.

Apa yang dilakukan oleh Syekh Puji menurut hemat penulis merupakan suatu bentuk eksploitasi karena telah melakukan tindakan pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi meskipun hal tersebut dengan persetujuan Lutfiana Ulfa di bawah lembaga perkawinan.

Dan terakhir pada Pasal 1 ayat (8) terdapat definisi ekspolitasi seksual adalah segala bentuk pemanfaatan organ tubuh seksual atau organ tubuh lain dari korban untuk mendapatkan keuntungan, termasuk tetapi tidak terbatas pada semua kegiatan pelacuran dan pencabulan.


Berdasarkan uraian sebelumnya, maka diperlukan upaya antara lain:

1. Perlunya ditingkatkan pemberdayaan masyarakat melalui penyuluhan-penyuluhan hukum, sehingga tingkat kesadaran dan kepatuhan hukum setiap warga masyarakat meningkat;

2. Perlunya penyesuaian terhadap beberapa aturan yang tumpang tindih seperti yang ada dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan; dan

3. Perlunya dilakukan sebuah usaha sistematis yang terarah dalam rangka pengawasan yang menyangkut pernikahan agar tidak terjadi lagi kasus pernikahan terhadap anak di bawah umur.