Translate

Cek Semua No Resi Anda Di Sini

Analisis Iddah

BAB I

PENDAHULUAN

Menurut Buku Perkawinan Islam karya M. Thalib, Pengertian Iddah yakni Iddah berasal dari kata adad, artinya menghitung. Maksudnya: perempuan (istri) menghitung hari-harinya dan masa bersihnya. Iddah dalam istilah agama menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya , atau setelah pisah dengan suaminya.

Sedangkan menurut H.Sulaiman Rasyid dalam buku Fiqh Islam Iddah adalah masa menanti yang diwajibkan atas perempuan yang diceraikan suaminya (cerai hidup atau cerai mati), gunanya supaya diketahui kandungannya berisi atau tidak.

Ketika dalam Iddah, maka para perempuan (istri) memiliki hak yang harus diberikan oleh suaminya. Menurut Buku Perkawinan Islam karya M. Thalib, hak perempuan yang beriddah yakni harus tinggal dirumah suaminya sampai habis masa Iddahnya. Ia tidak halal keluar dari rumah suaminya tersebut. Suaminya tidak halal menyuruhnya keluar dari rumah itu sekalipun telah jatuh thalaq atau berpisah.

H. Sulaiman Rasyid menjelaskan dalam bukunya Fiqh Islam bahwa ada 4 macam hak perempuan dalam Iddah yakni:

1. Perempuan yang taat dalam iddah raj’iyah berhak menerima tempat tinggal (rumah), pakaian, dan segala keperluan hidupnya dari yang menalaknya (bekas suaminya).

2. Perempuan yang dalam Iddah bain, apabila dia mengandung, dia berhak pula atas kediaman, nafkah dan pakaian.

3. Perempuan dalam Iddah bain yang tidak hamil, baik bain dengan talak tebus maupun dengan talak tiga, hanya berhak mendapatkan tempat tinggal tidak untuk yang lainnya.

4. Perempuan yang dalam Iddah wafat, mereka tidak memiliki hak sama sekali meskipun dia mengandung.

BAB II

ANALISIS

A. PENGERTIAN IDDAH

Iddah adalah suatu masa dimana sang istri menanti atau menghitung hari-harinya dan masa bersihnya yang hukumnya diwajibkan oleh Allah SWT bagi para perempuan yang telah diceraikan suaminya (cerai hidup atau cerai mati) yang dimana tujuannya adalah supaya diketahui kandungan perempuan (istri) tersebut berisi ataukah tidak. Iddah tersebut menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dengan suaminya tersebut.

Iddah dalam Islam hukumnya wajib sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Firman Allah SWT yakni dalam Q.S.Al Baqarah:228

Artinya:

“Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'………” (Q.S.Al Baqarah:228)

Apabila perempuan itu hamil, maka Iddahnya adalah sampai lahirnya anaknya. Adapun apabila wanita itu cerainya cerai mati, maka Iddahnya selama 4 bulan 10 hari.

B. HAK PEREMPUAN DALAM IDDAH

Hak perempuan (istri) yang masih ada dalam masa iddahnya adalah:

1. Perempuan (istri) tersebut harus tinggal dirumah suaminya sampai habis masa Iddahnya. Ia tidak halal untuk keluar dari rumah suaminya tersebut. Begitupun suaminya tidak diperkenankan bahkan tidak dihalalkan untuk menyuruh istrinya tersebut untuk keluar dari rumah itu walaupun pada realita yang ada telah jatuh thalaq atau berpisah bahkan perempuan tersebut harus menerima pakaian ataupun semua kebutuhan pribadinya dari suami yang menalaknya. Kecuali istri yang durhaka, bagi istri-istri yang durhaka maka mereka tidak berhak menerima apa-apa. Sebagaimana Firman Allah yang ada dalam Q.S.Ath thalaaq:1

Artinya:

“Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri” (Q.S.Ath thalaaq:1)

2. Perempuan yang dalam Iddah bain, apabila perempuan itu sedang dalam keadaan mengandung, dia berhak pula atas kediaman, nafkah dan pakaiannya. Dan yang bertanggung jawab atas semua ini adalah mantan suaminya. Sebagaimana Firman Allah yang ada dalam Q.S.Ath thalaaq:6

Artinya:

“Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka bersalin” (Q.S.Ath thalaaq:6)

3. Perempuan dalam Iddah bain yang tidak hamil, baik bain dengan talak tebus maupun dengan talak tiga, hanya berhak mendapatkan tempat tinggal tidak untuk yang lainnya. Sebagaimana Firman Allah yang ada dalam Q.S.Ath thalaaq:6

Artinya:

“Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu” (Q.S.Ath thalaaq:6)

4. Perempuan yang dalam Iddah wafat, mereka tidak memiliki hak sama sekali meskipun dia mengandung, karena dia dan anakyang berada dalam kandungannya telah mendapat hak pusaka dari suaminya yang meninggal dunia itu, sebagaimanasabda Rasulullah SAW “Janda hamil yang kematian suaminya tidak berhak mendapat nafkah” (Riwayat Daruqutni)

BAB III

KESIMPULAN

Iddah adalah suatu masa dimana sang istri menanti atau menghitung hari-harinya dan masa bersihnya yang hukumnya diwajibkan oleh Allah SWT bagi para perempuan yang telah diceraikan suaminya (cerai hidup atau cerai mati) yang dimana tujuannya adalah supaya diketahui kandungan perempuan (istri) tersebut berisi ataukah tidak. Iddah tersebut menjadi nama bagi masa lamanya perempuan (istri) menunggu dan tidak boleh kawin setelah kematian suaminya atau setelah pisah dengan suaminya.

Hak perempuan (istri) yang masih ada dalam masa iddahnya adalah:

1. Perempuan (istri) tersebut harus tinggal dirumah suaminya sampai habis masa Iddahnya.

2. Perempuan yang dalam Iddah bain, apabila perempuan itu sedang dalam keadaan mengandung, dia berhak pula atas kediaman, nafkah dan pakaiannya.

3. Perempuan dalam Iddah bain yang tidak hamil, baik bain dengan talak tebus maupun dengan talak tiga, hanya berhak mendapatkan tempat tinggal.

4. Perempuan yang dalam Iddah wafat, mereka tidak memiliki hak sama sekali meskipun dia mengandung.

DAFTAR PUSTAKA

1. Thalib, Muhammad, Perkawinan Menurut Islam, Surabaya: Al ikhlash, 1993.

2. H.Rasyid, Sulaiman, Fiqh Islam, Jakarta: Sinar Baru Algensindo,2001.

Hubungan Agama Dan Negara

Tinjauan hubungan agama dengan negara secara ideologis pertama-tama harus diletakkan pada proporsinya dengan benar. Yaitu sebagai pemikiran cabang tentang kehidupan, yang lahir dari pemikiran mendasar tentang alam semesta, manusia, dan kehidupan (aqidah). Oleh sebab itu, pembahasan hubungan agama-negara pertama-tama harus bertolak dari pemikiran mendasar tersebut, baru kemudian dibahas hubungan agama-negara, sebagai pemikiran cabang yang lahir dari pemikiran mendasar tersebut. Yang dimaksud pemikiran mendasar tersebut adalah pemikiran menyeluruh (fikrah kulliyyah) tentang alam semesta,
manusia, dan kehidupan, serta tentang apa yang ada sebelum kehidupan dunia dan
sesudah kehidupan dunia, serta hubungan kehidupan dunia dengan apa yang ada
sebelum kehidupan dunia dan sesudahnya (An Nabhani, Nizham Al-Islam, 2002).

Mengingat kini ideologi yang ada di dunia ada 3 (tiga), yaitu Sosialisme (Isytirakiyyah), Kapitalisme (Ra`sumaliyyah), dan Islam, maka aqidah atau pemikiran mendasar tentang kehidupan pun setidaknya ada 3 (tiga) macam pula, yakni aqidah Sosialisme, aqidah Kapitalisme, dan aqidah Islamiyah. Masing-masing aqidah ini merupakan pemikiran mendasar yang di atasnya dibangun berbagai pemikiran cabang tentang kehidupan, termasuk di antaranya hubungan agama dengan negara.

Aqidah Sosialisme adalah Materialisme (Al Maaddiyah), yang menyatakan bahwa dunia ini tiada lain terdiri dari dan tergantung eksistensinya pada benda material. Menurut Donald Wilhelm dalam Creative Altertaives to Communism Guide Lines for Tomorrows World (1979:147), Materialisme, in its philosophical sense, is the view that all that exsist is matter or is wholly dependent upon the matter for its existence. Jadi, segala sesuatu yang ada hanyalah materi belaka. Karl Marx (1818-1883) berkata, Religion is the sigh of the oppressed people, the heart of heartless world, just as it is the spirit of a spiritless situation. It is the opium of the people yakni Agama adalah keluh kesah rakyat yang tertindas, hati dari dunia yang tidak berhati, dan jiwa dari suatu situasi yang tak berjiwa. Dengan demikian, menurut Sosialisme, hubungannya dapat diistilahkan sebagai hubungan yang negatif, dalam arti Sosialisme telah menafikan secara mutlak eksistensi dan pengaruh agama dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Agama merupakan candu masyarakat yang harus dibuang dan dienyahkan.

Aqidah ideologi Kapitalisme, adalah pemisahan agama dari kehidupan fashluddin anil hayah, atau sekularisme. Dalam Webster Dictionary sekularisme didefinisikan sebagai: A system of doctrines and practices that rejects any form of religious faith and worship Sebuah sistem doktrin dan praktik yang
menolak bentuk apa pun dari keimanan dan upacara ritual keagamaan, atau
sebagai: The belief that religion and ecclesiastical affairs should not enter
into the function of the state especially into public education
. Sebuah
kepercayaan bahwa agama dan ajaran-ajaran gereja tidak boleh memasuki fungsi
negara, khususnya dalam pendidikan publik.

Jadi, sekularisme tidak menafikan agama secara mutlak, namun hanya membatasi perannya dalam mengatur kehidupan. Keberadaan agama memang diakui walaupun hanya secara formalitas namun agama tidak boleh mengatur segala aspek kehidupan, seperti politik, ekonomi, sosial, budaya, dan sebagainya yang menjadi urusan pemerintah.

Aqidah Islamiyah adalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, Hari Akhir, dan Qadar (taqdir) Allah. Aqidah ini merupakan dasar ideologi Islam yang darinya terlahir berbagai pemikiran dan hukum Islam yang mengatur kehidupan manusia. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan untuk menerapkan agama secara menyeluruh dalam segala aspek kehidupan, yang tidak mungkin terwujud kecuali dengan adanya Negara. Seluruh hukum-hukum Islam tanpa kecuali harus diterapkan kepada manusia, sebagai konsekuensi adanya iman atau Aqidah Islamiyah. Dan karena hukum-hukum Islam ini tidak dapat diterapkan secara sempurna kecuali dengan adanya sebuah institusi negara, maka keberadaan negara dalam Islam adalah suatu keniscayaan. Karena itu, formulasi hubungan agama-negara dalam pandangan Islam dapat diistilahkan sebagai hubungan yang positif, dalam arti bahwa agama membutuhkan negara agar agama dapat diterapkan secara sempurna dan bahwa agama tanpa negara adalah suatu cacat yang akan menimbulkan reduksi dan distorsi yang parah dalam beragama. Agama tak dapat dipisahkan dari negara. Agama mengatur seluruh aspek kehidupan melalui negara yang terwujud dalam konstitusi dan segenap undang-undang yang mengatur kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Maka dari itu, tak heran banyak pendapat para ulama dan cendekiawan Islam yang menegaskan bahwa agama-negara adalah sesuatu yang tak mungkin terpisahkan. Keduanya ibarat dua keping mata uang, atau bagaikan dua saudar kembar (tau`amaani).

Hubungan agama-negara dalam pandangan Islam harus didasarkan pada Aqidah, bukan aqidah yang lain. Aqidah Islamiyah telah memerintahkan penerapan agama secara menyeluruh, yang sangat membutuhkan eksistensi negara. Jadi, hubungan agama dan negara sangatlah eratnya, karena agama (Islam) tanpa negara tak akan dapat terwujud secara sempurna dalam kehidupan.

Hubungan ini secara nyata akan dapat diwujudkan jika berdiri negara Khilafah. Islamiyah, yang pendiriannya merupakan kewajiban seluruh kaum muslimin. Tanpa Khilafah, agama dan negara akan terpisah dan terceraikan, yang pada gilirannya akan mengakibatkan lenyapnya penerapan sebagian besar ajaran Islam. Dalam keadaan tanpa Khilafah, menerapkan Islam secara sempurna dan menyeluruh adalah utopia, ibarat mimpi di siang bolong

Siyasah

BAB I

PENDAHULUAN

Suatu hal yang perlu mendapat catatan dalam dunia perpolitikan Nabi Muhammad SAW dalam praktiknya baik mengenai mendirikan dan sekaligus memimpin Negara Madinah merupakan sebuah isyarat bahwasannya keberadaan sebuah negara sangatlah penting. Namun satu hal lagi mengenai Piagam Madinah yang menjadi sebuah kostitusi di Era kepemimpinan Nabi Muhammad SAW tidak menyebutkan agama sebagai negara.

Dalam makalah ini akan membahas tentang pemikiran politik yang terbagi dalam beberapa kelompok yakni:

1. Menurut kelompok Sunni

2. Menurut kelompok Syiah

3. Menurut kelompok Khawarij

4. Menurut kelompok Mu’tazilah

Dengan berbagai macam pikiran politik yang akan dibahas kali ini sekiranya kita dapat mengetahui beberapa pandangan masing-masing kelompok sehingga dapat menemukan apa inti pemikiran yang timbul dari berbagai kelompok ini.

BAB II

PEMBAHASAN

A. PEMIKIRAN POLITIK SUNNI

Sebagai kelompok mayoritas, pola pikir politik kaum Sunni biasanya sangat Pro kepada pemerintah yang berkuasa. Pemikiran-pemikiran dari ahli politik Sunni cenderung membela dan mempertahankan kekuasaan. Tidak jarang pula pemikiran politik dan kenegaraan mereka menjadi alat legitimasi bagi kekuasaan khalifah yang memerintahkan, namun atas pendapat ini Mujar Ibnu Syarif memberikan sebuah solusi ketika makalah ini disusun bahwasannya pendapat diatas merupakan suatu hal yang darurat.

Ibnu Taimiyah sebagaimana dijelaskan Iqbal, telas merumuskan bahwa enam puluh tahun berada di bawah rezim penguasa zalim lebih baik dari pada sehari hidup tanpa pemimpin. Munawir Sjadzali dalam bukunya Islam dan Tata Negara mengemukakan pendapat Ghazali, Ibnu Ali Rabi’ dan Ibnu Taimiyah yang telah menyatakan dengan tegas bahwasannya kekuasaan kepada negara atau raja itu merupakan mandat dari Tuhan yang diberikan kepada hamba-hamba pilihanNya, dan disebutkan pula bahwa ketiga pemikir itu berpendirian bahwa khalifah itu adalah Ghazali muqaddas atau suci, tidak dapat diganggu gugat. Ibnu Abi Rabi’ mencari dasar lagi legitimasi keistimewaan hak-hak khalifah atas rakyatnya dalam ajaran agama, yaitu:

Artinya:

Dan dia lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan dia meninggikan sebahagian kamu atas sebahagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan-Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu amat cepat siksaan-Nya dan Sesungguhnya dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.Al-An’am:165)

Artinya:

Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya. (QS.Al-Nisa:59)

Menurut Ibn Abi Rabi’, kedua ayat diatas merupakan penegasan Allah bahwa Allah telah memberi keistimewaan kepada para raja dengan segala keutamaan dan memperkokoh kedudukan mereka di bumiNya. Disamping itu Allah SWT mewajibkan kepada para ulama untuk menghormati, mengagungkan dan mentaati perintah mereka. Pandangan hampir serupa dikemukakan oleh al-Ghazali sumber kekuasaan adalah Tuhan dan lebih jauh dikatakan bahwa pembentukan negara bukanlah berdasarkan pertimbangan rasio, melainkan berdasarkan perintah syar’i. Menurutnya, mustahil ajaran-ajaran agama dapat terlaksana dengan baik kalau kondisinya tidak mendukung, sedang pendukungnya adalah negara.

Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa keberadaan kepala negara dibutuhkan umat Islam tidak hanya sekedar menjamin jiwa dan harta masyarakatnya saja, tetapi juga untuk menjamin jalannya hukum-hukum Tuhan. Sebagai konsekuensi dari kekuasaan kepala negara yang sakral, baik Ibn Abi Rabi’, Ibn Taimiyah mengharamkan umat Islam untuk melakukan pemberontakan terhadap kepala negara meskipun kafir, selama ia masih menjalankan keadilan dan tidak menyuruh berbuat maksiat kepada Allah.

Mawardi berpendapat bahwa sumber kekuasaan kepala negara adalah berdasarkan perjanjian antara agama dan rakyatnya atau adanya kontrak sosial. Dari pendapat Mawardi ini lahirlah hak dan kewajiban secara timbal balik antara kedua belah pihak yakni rakyat dan penguasa. Suatu hal yang perlu mendapat perhatian dari al-Mawardi yakni menekankan kepatuhan terhadap kepala negara (pemimpin) yang telah terpilih.

Kepatuhan ini tidak hanya kepada pemimpin yang adil, tetapi juga kepada pemimpin yang jahat.

Ciri lain didalam pemikiran politik golongan Sunni ini adalah penekanan mereka terhadap suku Quraisy sebagai kepala negara walaupun Ibn Abi Rabi’ tidak menyinggungnya secara tegas, dan Muhammad Iqbal memasukkan pemikiran Muhammad Rasyid Ridha yang hidup dimasa modern yang masih menekankan suku Quraisy di dalam pemikiran politiknya.

Namun sebagai mana disinggung Iqbal pula yang memasukkan pola pemikiran Ibnu Khaldun yang menyatakan bahwa syarat Quraisy bukanlah sebuah harga mati.

B. PEMIKIRAN POLITIK SYI’AH

Sebelum merambah lebih jauh lebih jauh mengenai pemikiran politik Syi’ah terasa tidak sah dan nyaman bila tidak mengetahui sejarah lahirnya kelompok ini. Mengenai kelahiran kelompok ini banyak sekali aneka ragamnya, sebagaimana dijelaskan oleh Iqbal yang mengatakan bahwasannya Syi’ah lahir sebagai reaksi atas mayoritas kelompok Sunni yang sejak wafatnya Nabi Muhammad SAW telah mendominasi dalam percaturan politik Islam, selanjutnya Munawir Sjadzali mengatakan titik awal dari lahirnya Syi’ah karena berawal dari ketidak setujuan atas kekhalifahan Abu Bakar dan berpendirian bahwa yang berhak menjadi khalifah adalah Ali, para ahli penulis sejarah sebagaimana dijelaskan dalam Ensiklopedi Islam sebagian menganggap Syi’ah lahir setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, yaitu pada saat perebutan kekuasaan antara golongan Muhajirin dan Anshor di Balai pertemuan Saqifah Bani Sa’idah, yang diselenggarakan di gedung pertemuan yang dikenal dengan Dar al-Nadwa di Madinah, dan lebih jauh dijelaskan sebagian ahli sejarah menganggap Syi’ah lahir pada masa akhir khalifah Usman bin Affan atau pada masa awal kepemimpinan Ali bin Abi Thalib dan dijelaskan dalam Ensiklopedi itu lebih jauh mengatakan bahwasannya pendapat yang paling populer adalah bahwa Syi’ah lahir setelah gagalnya perundingan antara pihak pasukan Ali dan Mu’awiyah bin Abu Sufyan di Siffin, yang lazim disebut sebagai peristiwa at-Tahkim atau arbitasi. Dan Abu Zahroh memperkuat atas pendapat ini dengan mengatakan bahwasannya Syi’ah adalah mazhab politik pertama lahir dalam Islam, mazhab mereka tampil pada akhir pemerintahan Atsman, kemudian tampil pada akhir masa Ali.

Pada perkembangan selanjutnya, aliran Syi’ah ini terpecah menjadi puluhan cabang atau sekte, hal ini disebabkan karena cara pandang yang berbeda dikalangan mereka mengenai sifat imam ma’shum atau tidak dan perbedaan didalam menentukan pengganti imam.

Kaum Syi’ah menetapkan bahwa seorang imam:

1. Harus ma’shum (terpelihara) salah, lupa, dan maksiat.

2. Seorang imam boleh membuat hal luar biasa dari adat kebiasaan.

3. Seorang imam harus memiliki ilmu yang meliputi setiap sesuatu yang berhubugan dengan syari’at.

4. Imam adalah pembela agama dan pemelihara kemurnian dan kelestarian agar terhindar dari penyelewengan.

Tidak seperti kelompok syi’ah lainnya Syi’ah Zaidiyah tidak menganut paham dan teori imam bersembunyi. Bagi mereka imam harus memimpin umat dan berasal dari keturunan Ali dan Fatimah, Syi’ah Zaidiyah tidak meyakini bahwa Nabi telah menetapkan orang dan nama tertentu untuk menjadi imam. Nabi hanya menetapkan sifat- sifat yang mesti dimiliki seorang imam yang akan menggantikan beliau. Terjadinya pengkultusan terhadap diri Ali oleh kaum Syi’ah sebagaimana dijelaskan oleh suyuti merupakan tidak bisa lepas dari pendapat Khawrij yang mengkafirkan Ali sejak peristiwa tahkim (arbitrase). Tentunya untuk mengimbangi pernyatan dari kaum yang mereka anggap berseberangan dengan mereka ini maka kelompok Syi’ah membuat doktrin untuk menyeimbangkan hal tersebut, yaitu mengangkat dan mengkultuskan pada tingkat ma’shum, dan mendoktrin bahwa ia telah ditetapkan melalui wasiat Nabi sebagai imam untuk pengganti Nabi.

Iqbal menulis, secara sosio politik, berkembangnya doktrin Syi’ah dipengaruhi oleh beberapa faktor. Pertama, imam-imam Syi’ah, selain Ali Ibn Abi Thalib, tidak pernah memegang kekuaaan politik. Mereka lebih memperlihatkan sosoknya yang memiliki integritas dan kesalehan yang tinggi. Merek tidak memiliki pengalaman praktis dalam memerintah dan menangani permaslahan politik riil. Ketika mereka melihat realitas politik tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman sebagaiman mereka inginkan, maka mereka mengembangkan doktrin kema’shuman imam. Kedua, sebagian pengikut syi’ah berasal dari Persia ikut membentuk paradigma dalam corak pemikiran Syi’ah, yang diketahui mereka dahulukalanya yakni mengagungkan raja dan menganggapnya sebagai manusia suci, hal ini terlihat pada salah satu kelompok ini yang mempunyai suatu paradigma yakni imam Ali adalah penjelmaan Tuhan yang tinggi martabatnya bahkan dari Nabi Muhammad sendiri. Ketiga, pengalaman pahit yang selalu dialami pengikut Syi’ah dalam percaturan politik ikut mempengaruhi berkembangnya doktrin al-Mahdi al-Muntatazhar yang akan melepaskan mereka dari penderitaan.

Dari sekian banyak kelompok ditubuh syi’ah, Iqbal mengelompokkan golongan ini menjadi tiga aliran:

1. Moderat, umumnya memandang Ali sebagai manusia biasa, dapat menerima kekhalifahan Abu Bakar dan Umar.

2. Ekstrem, menempatkan Ali sebagai seorang nabi yang lebih tinggi dari Nabi Muhammad sendiri, bahkan ada yang mengnggap Ali sebagai penjelmaan tuhan.

3. Diantara kedua kelompok diatas, Ali sebagai pewaris yang sah jabatan khalifah dan menuduh Abu Bakar dan Umar telah merebutnya dari tangan Ali, tidak memperlakukan Ali tidak seperti nabi yang lebih utama dari Nabi Muhammad, apa lagi penjelmaan Tuhan.

Diantara sekian banyak sekte, terdapat 3 sekte besar dan berpengaruh dalammazhab Syi’ah hingga sekarang yaitu:

1. Zaidiyyah,

2. Ismailiyyah (Sab’iyyah),

3. Imamiyah (Isna’ Asy’ariyah).

Sebelum membahas lebih lanjut sebaiknya mengetahui nama-nama masing imam dalam tubuh Syi’ah:

1. Zaidiyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein Ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Zaid ibn Ali.

2. Isma’iliyah atau Sab’iyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far al-Shadiq, Isma’il ibn Ali.

3. Imamiyyah atau Isna ‘Asyariyah: Ali bin Abi Thalib, Hasan ibn Ali, Husein ibn Ali, Ali Zaenal Abidin, Muhammad al-Baqir, Ja’far al-Shadiq, Musa al-Kadzim, Ali al-Ridho, Muhammad al-Taqi’, Ali al-Hadi, Hasan al-Askari, Muhammad al-Mahdi.

C. PEMIKIRAN POLITIK KHAWARIJ

Kelompok Khawarij muncul bersama dengan mazhab Syi’ah. Masing-masing muncul sebagai sebuah mazhab pada pemerintahan khalifah Ali bin Abi Thalib. Pada awalnya kelompok ini adalah para pendukung Ali bin Abi Thalib, meskipun pemikiran kelompok ini lebih dahulu dari pada mazhab Syi’ah.

Khawarij adalah kelompok sempalan yang memisahkan diri dari barisan Ali setelah arbitase atau tahkim yang mengakhiri perseteruan dan kontak senjata antara Ali dan Mu’awiyah di Siffin. Dan suatu hal yang aneh kelompok yang semula merupakan sebuah kelompok yang memaksa Ali untuk menerima tahkim dan menunjuk orang yang menjadi hakim atas pilihan mereka ketika Ali pada mulanya hendak mengangkat Abdullah Ibn Abbas, tetapi atas desakan pasukan yang keluar (Khawarij) akhirnya mengangkat Abu Musa al-Asy’ari, belakangan memandang perbuatan tahkim sebagai kejahatan besar, menurut kelompok ini Ali telah menjadi kafir kerana menyetujui tahkim dan menuntut Ali agar bertaubat sebagaimana mereka telah kafir, tetapi mereka telah bertaubat. Pegikut Khawarij terdiri dari suku Arab Badui yang masih sederhana cara berfikirnya, sikap keagamaan mereka sangat ekstrim dan sulit menerima perbedaan pendapat dan diterangkan oleh Abu Zahroh bahwasannya para pengikut kelompok Khawarij pada umumnya terdiri atas orang Arab pegunungan yang ceroboh dan berpikiran dangkal, beberapa sikap ekstrim ini pula yang membuat kelompok ini terpecah-pecah menjadi beberapa kelompok.

Menurut mereka, hak untuk menjadi kahalifah tidak terbasta pada keluarga atau kabilah tertentu dari kalangan Arab, bukan monopoli bangsa tertentu tetapi hak semua manusia. Meskipun mereka cenderung ekstrim dan sulit menerima perbedaan sebagaimana dikatakan oleh Muhammad Iqbal bahwasannya pandangan mereka yang lebih maju dari pada Sunni maupun Syi’ah. Mereka dapat menerima pemerintahan Abu Bakar, Umar, Utsman pada enam tahun pertama dan Ali sebelum menerima arbitase dengan alasan pemerintahan mereka pada masa sesuai dengan ketentuan syari’at.

Suatu hal yang lebih jauh Iqbal membandingkan dengan kelompok Sunni dan Syi’ah, Khawarij tidak mengakui hak-hak istimewa orang atau kelompok tertentu untuk menduduki jabatan khalifah. Jabatan khalifah bukan monopoli mutlak suku Quraisy sebagaimana pandangan Sunni misalkan saja pandangan al-Ghazali, al-Juwaini, al-Asqolani, al-Maududi dan Ibnu Khaldun dan ungkapan yang tersirat pada pandangan Ibnu Abi Rabi’ dan pandangan Muhammad Rasyid Ridho yang hidup pada masa modern, juga bukan hak khusus Ali dan keluarga sebagaimana pandangan kaum Syi’ah. Mungkin untuk mempertegas masalah ini kita melihat beberapa prinsip yang disepakati oleh aliran-aliran Khawarij.

Pertama, pengangkatan khalifah akan sah hanya jika berdasarkan pemilihan yang benar-benar bebas dan dilakukan oleh semua umat Islam tanpa diskriminasi. Seorang khalifah tetap pada jabatannya selama ia berlaku adil, melaksanakan syari’at, serta jauh dari kesalahan dan penyelewengan. Jika ia menyimpang, ia wajib dijatuhi hukuman yang berupa dijatuhkan dari jabatannya atau dibunuh.

Kedua, jabatan khalifah bukan hak khusus keluarga Arab tertentu, bukan monopoli suku Quraisy sebagai dianut golongan lain, bukan pula khusus untuk orang Arab dengan menafikan bangsa lain, melainkan semua bangsa mempunyai hak yang sama. Khawarij bahkan mengutamakan Non Quraisy untuk memegang jabatan khalifah. Alasannya, apabila seorang khalifah melakukan penyelewengan dan melanggar syari’at akan mudah untuk dijatuhkan tanpa ada fanatisme yang akan mempertahankannya atau keturunan keluarga yang akan mewariskannya.

Ketiga, yang berasal dari aliran Najdah, pengangkantan khalifah tidak diperlukan jika masyarakat dapat menyelesaikan masalah-masalah mereka. Jadi pengangkatan seorang imam menurut mereka bukanlah suatu kewajiban berdasarkan syara’, tetapi hanya bersifat kebolehan. Kalau pun pengangkatan itu menjadi wajib, maka kewajiban berdasarkan kemaslahatan dan kebutuhan.

Keempat, orang yang berdosa adalah kafir. Mereka tidak membedakan antara satu dosa dengan dosa yang lain, bahkan kesalahan dalam berpendapat merupakan dosa, jika pendapat itu bertentangan dengan kebenaran. Hal ini mereka lakukan dalam mengkafirkan Ali dan Thalhah, al-Zubair, dan para tokoh sahabat lainnya, yang jelas tentu semua itu berpendapat yang tidak sesuai dengan pendapat khawarij.

Dari keterangan diatas, menurut mereka siapa saja berhak menduduki jabatan khalifah bahkan mereka mengutamakan orang selain dari Non Arab. Dan dari pemikiran diatas, pengikut khawrij berpandangan pengangkatan khalifah dan pembentukan negara adalah masalah kemaslahatan manusia saja, mereka tidak menganggap kepala negara sebagai seorang yang sempurna, Iqbal menjelaskan bahwasanya Khawarij menggunakan mekanisme syura untuk mengontrol pelaksanaan tugas-tugas pemerintahan, hal ini menunjukkan kedemokrasian kelompok ini.

D. PEMIKIRAN POLITIK MU’TAZILAH

Kelompok ini Mu’tazilah pada awalnya merupakan gerakan atau sikap politik beberapa sahabat yang gerah terhadap kehidupan politik umat Islam pada masa pemerintahan Ali. Dengan terjadinya konflik dalam internal umat Islam mengenai pengangkatannya khalifah yang keempat.

Penanaman kelompok ini dengan Mu’tazilah baru terjadi pada saat terjadinya perbedaan-perbedaan antara Washil Ibn Atha dega gurunya Hasan al-Bashri pada abad ke II H, tentang penilaian orang yang berbuat banyak dosa dalam referensi lain disebutkan orang yang berbuat dosa besar. Namun Harun Nasution sendiri menjelskan banyak sekali asal usul nama Mu’tazilah walaupun para ahli talah mengajukan pendapat mereka namun belum ada kata sepakat antara mereka.

Kelompok Mu’tazilah selanjutnya berkembang menjadi sebuah aliran teologi rasional, akan tetapi sesuai dengan situasi dan perkembangan saat itu, pemikiran-pemikiran mu’tazilah merambah kelapangan siyasah, hal ini dapat dilihat dari tokoh mereka Abd al-Jabbar yang berbicara tentang khalifah, ia berpandangan bahwa pembentukan lembaga khalifah bukanlah kewajiban berdasarkan syar’i karena nash tidak tegas mempermasalahkan untuk membantu negara dan Suyuti menambahkan dalam karangannya, melainkan atas dasar pertimbangan rasio dan tuntutan muamalah manusia.

Abd al-Jabar menempatkan kepala negara pada posisi yang sama dengan umat Islam lainnya, menurutnya kepala negara bukan sosok yang luar biasa sebagimana pandangan Syi’ah atau pendapat Sunni yang lebih mengutamakan suku Quraisy untuk menduduki kepala negara, menurutnya kalangan mana dan siapapun boleh menjadi kepal negara, asalkan ia mampu melaksanakannya, kepala negara ditentukan berdasarkan pemilihan umat Islam sendiri.

BAB III

KESIMPULAN

Dari pembahasan diatas sebagai pelengkap dari makalah ini ada tiga pemikiran politik kenegaraan dalam Islam. Pertama, aliran aristokrasi dan monarki yang diwakili oleh kelompok Sunni. Kedua, aliran teokrasi yang diwakili oleh Syi’ah kecuali Syi’ah Zaidiyah. Ketiga, aliran demokrasi yang dianut oleh Khawarij.

Dengan mengetahui pemikiran politik masing-masing golongan ini semoga kita paham apa arti sebuah perbedaan yang inti dari perbedaan diatas adalah betapa pentingnya sebuah negara, terlepas apakah disana terdapat perbedaan-perbedaan.

DAFTAR PUSTAKA

  1. Iqbal, Muhammad, Fiqih Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Persada, 2001.
  2. Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran – Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: UI Press, 1986.
  3. Pulungan, Suyuti, Fiqih Siyasah: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada, 1997.
  4. Sjadzali, Munawir, Islam dan Tata Negara: Ajaran, Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: UI Press, 1990.
  5. Zahrah, Imam Muhammad, Tarikh al – Madzahib al – Islamiyyah, terjemahan Abd.Rahman Dahlan dan Ahmad Qarib, Aliran Politik dan Aqidah Dalam Islam, Jakarta: Logos, 1996, cetakan kesatu.
  6. Pulungan, J.Suyuti, Fiqh Siyasah. 2002. PT Raja Grafindo Persada. Jakarta
  7. Wahhab Khallaf, Abdul. Kaidah-kaidah Hukum Islam. 2002. PT Raja Wali Persada. Jakarta

Perkara Korupsi

Bulan November 2006, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengusulkan perlunya ketentuan tentang pembuktian terbalik penanganan perkara korupsi dalam Rancangan Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Menurut KPK, dalam pembuktian terbalik, yang melakukan pembuktian adalah terdakwa. Artinya, terdakwa harus membuktikan dirinya tidak bersalah. Nantinya orang yang menuduh orang lain melakukan korupsi harus dapat menunjukkan buktinya, sebaliknya, pelaku yang dituduh juga harus dapat membuktikan bahwa tuduhan itu tidak benar. Pernyataan tersebut mengingatkan kembali pada wacana pembuktian terbalik. Sebelumnya pada Desember 2004, KPK meminta pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Pembuktian Terbalik. Menurut KPK, Perpu ini dibutuhkan untuk mempercepat pemberantasan korupsi. Kemudian pada bulan Desember 2005, KPK juga pernah mendesak pemerintah untuk segera membuat rancangan undang-undang (RUU) Pembuktian Terbalik agar pemberantasan korupsi mengalami peningkatan.

Pembuktian terbalik sebenarnya telah disebutkan di dalam Pasal 37 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Di dalam Bagian Penjelasan Umum, disebutkan bahwa pembuktian terbalik bersifat terbatas atau berimbang, yakni terdakwa mempunyai hak untuk membuktikan bahwa ia tidak melakukan tindak pidana korupsi dan wajib memberikan keterangan tentang seluruh harta bendanya dan harta benda istri atau suami, anak, dan harta benda setiap orang atau korporasi yang diduga mempunyai hubungan dengan perkara yang bersangkutan, dan penuntut umum tetap berkewajiban membuktikan dakwaannya.

Ketentuan dalam Pasal 37 tersebut merupakan suatu penyimpangan dari Pasal 66 Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana yang menyebutkan bahwa tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian. Juga merupakan penyimpangan dari Pasal 14 Ayat (3) huruf g Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik, yang telah diratifikasi dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik), yang menyebutkan “Dalam penentuan tuduhan pelanggaran pidana terhadapnya, setiap orang berhak untuk tidak dipaksa memberikan kesaksian terhadap diri sendiri atau mengaku bersalah.”

Apabila terdakwa dapat membuktikan hal tersebut, tidak berarti ia tidak terbukti melakukan korupsi, sebab penuntut umum masih tetap berkewajiban untuk membuktikan dakwaannya. Pembuktian terbalik yang bersifat terbatas sebagaimana tersebut di atas, hanya terjadi di sidang pengadilan. Jika pembuktian terbalik diwajibkan pada saat berstatus sebagai tersangka, maka dikhawatirkan pembuktian terbalik itu dapat menjadi bumerang bagi penegakan hukum pemberantasan korupsi itu sendiri. Dapat saja terjadi, pembuktian terbalik tersebut disalahgunakan oleh penyidik. Penyidik dapat melakukan penyalahgunaan wewenang, dengan memeras seseorang yang telah menjadi tersangka yang diduga telah melakukan korupsi. Kekhawatiran itu selalu ada dalam wacana pembuktian terbalik sejak lama. J.E. Sahetapy (2003) menyatakan bahwa lebih kurang tiga puluh tahun yang lalu, problematik beban pembuktian terbalik sudah menjadi wacana di dunia Fakultas Hukum omkering van de bewijlast, begitulah problematik pembahasan pada waktu itu. Dirasakan dan dipikirkan pada waktu itu bahwa beban pembuktian terbalik sangat tidak tepat dengan berbagai argumentasi yang tidak begitu jauh berbeda secara substansial dengan apa yang disuarakan dewasa ini.

Masih menurut J.E. Sahetapy, pembuktian terbalik lebih layak hanya digunakan oleh hakim, dan sama sekali tidak boleh digunakan oleh pihak penyidik. Hal itu karena pemeriksaan yang transparan hanya di pengadilan. Tanpa transparansi, terlepas dari praktik yang sudah tercemar dewasa ini di Kepolisian dan atau Kejaksaan, penerapan beban pembuktian terbalik dalam penyidikan itu dapat menjadikan pembuktian terbalik sebagai sarana pemerasan.

Meski demikian, yang menyetujui pembuktian terbalik terhadap tersangka perkara korupsi, beranggapan bahwa jika pembuktian terbalik dilaksanakan secara benar, maka dapat lebih mempercepat atau mengoptimalkan pemberantasan korupsi. Hal itu karena, jika tersangka perkara korupsi diwajibkan membuktikan bahwa dirinya tidak bersalah, maka bukti-bukti yang diajukannya dapat menjadi bahan bagi penyidik untuk menentukan apakah perkara dapat dilanjutkan pada tahap penuntutan di sidang pengadilan atau tidak. Jika dilanjutkan, bukti-bukti yang diajukan tersangka dapat menjadi bahan bagi jaksa penuntut umum untuk menguatkan dakwaan di sidang pengadilan.

Selain itu, pembuktian yang selama ini diakui, yaitu terdapat dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim, serta tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, sering menyulitkan proses pembukti¬an perkara korupsi. Oleh karena itu perlu ada langkah baru, salah satunya adalah menggunakan teori "keseimbangan kemungkinan pembuktian" (Balanced probability of principles), yaitu keseimbangan yang proporsional antara perlindungan individu dan perampasan hak individu yang bersangkutan atas harta kekayaannya yang diduga kuat berasal dari korupsi. Dengan demikian, atas dasar bahwa harta kekayaannya diduga kuat berasal dari korupsi, maka tersangka dapat diwajibkan untuk melakukan pembuktian bahwa ia tidak bersalah.

Pembuktian terbalik sebagaimana diuraikan di atas, masih dalam lingkup hukum acara pidana. Dalam perkara korupsi, dikenal pula pengembalian kerugian keuangan negara. Upaya pengembalian kerugian keuangan negara dengan menggunakan instrumen hukum perdata telah diatur dalam UU No. 31 Tahun 1999 jo UU No. 20 Tahun 2001. Instrumen hukum perdata ini belum operasional, karena hukum acara perdata yang berlaku adalah hukum acara perdata biasa tanpa ada kekhususan. Pembuktian terbalik sebagai bagian hukum acara perdata khusus, perlu dipikirkan, agar tercapai efisiensi dan efektifitas dalam penanganan perkara korupsi.

PERTANGGUNG JAWABAN PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Dalam Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pertanggung jawaban pidana pada perkara tindak pidana korupsi yaitu:

1. Korporasi adalah kumpulan orang dan atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum.

2. Pegawai Negeri adalah meliputi :

a. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang tentang kepegawaian;

b. Pegawai negeri sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana;

c. Orang yang menerima gaji atau upah dari keuangan negara atau daerah;

d. Orang yang menerima gaji atau upah dari suatu korporasi yang menerima bantuan dari keuangan negara atau daerah; atau

e. Orang yang menerima gaji atau upah dari korporasi lain yang mempergunakan modal atau fasilitas dari negara atau masyarakat.

3. Setiap orang adalah orang perseorangan atau termasuk korporasi.

PENJATUHAN PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA PADA PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI

Jenis penjatuhan pidana yang dapat dilakukan hakim terhadap terdakwa tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

A. Terhadap Orang yang melakukan Tindak Pidana Korupsi

1. Pidana Mati

Dapat dipidana mati karena kepada setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, yang dilakukan dalam keadaan tertentu.

2. Pidana Penjara

1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan Negara atau perkonomian Negara. (Pasal 2 ayat 1).

  1. Pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak satu Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) bagi setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan Negara atau perekonomian Negara (Pasal 3).
  2. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp.150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta) bagi setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di siding pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi. (Pasal 21).
  3. Pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan/atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah) bagi setiap orang sebagaimana dimaksud dalam pasal 28, pasal 29, pasal 35, dan pasal 36.

3. Pidana Tambahan

1. Perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana dimana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut.

  1. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.
  2. Penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun.
  3. Pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu yang telah atau dapat diberikan oleh pemerintah kepada terpidana.
  4. Jika terpidana tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut.
  5. Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka terpidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak memenuhi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai ketentuan undang-undang nomor 31 tahun 1999 jo undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.

B. Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan Oleh atau Atas Nama Suatu Korporasi

Pidana pokok yang dapat dijatuhkan adalah pidana denda dengan ketentuan maksimal ditambah 1/3 (sepertiga). Penjatuhan pidana ini melalui procedural ketentuan pasal 20 ayat (1)-(5) undang-undang 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah sebagai berikut:

1. Dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, maka tuntutan dan penjatuhan pidana dapat dilakukan terhadap korporasi dan/atau pengurusnya.

2. Tindak pidana korupsi dilakukan oleh korporasi apabila tindak pidana tersebut dilakukan oleh orang baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut baik sendiri maupun bersama-sama.

3. Dalam hal ini tuntutan pidana dilakukan terhadap suatu korporasi maka korporasi tersebut diwakili oleh pengurus, kemudian pengurus tersebut dapat diwakilkan kepada orang lain.

4. Hakim dapat memerintahkan supaya pengurus korporasi menghadap sendiri di pengadilan dan dapat pula memerintahkan supaya penguruh tersebut dibawa ke siding pengadilan.

5. Dalam hal tuntutan pidana dilakukan terhadap korporasi, maka panggilan untuk menghadap dan menyerahkan surat panggilan tersebut disampaikan kepada pengurus di tempat tinggal pengurus atau ditempat pengurus berkantor.

Unsur-unsur tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang nomor 20 tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi adalah:

1. Melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi;

2. Perbuatan melawan hukum;

3. Merugikan keuangan Negara atau perekonomian;

4. Menyalahgunakan kekuasaan, kesempatan atas sarana yang ada padanya karena jabatan dan kedudukannya dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain.