Translate

Cek Semua No Resi Anda Di Sini

ISLAM DAN POLITIK DI INDONESIA

Perkembangan Peradilan Islam di Indonesia tidak terlepas dari politik dan pengusa yang sedang berkuasa. Hal tersebut dipengaruhi dari penyebaran umat Islam di berbagai Negara dan kawasan.

Corak dan perkembangan Peradilan Islam sejalan dengan struktur, pola budaya dan perkembangan masyarakat Islam dinegara-negara yang bersangkutan. Demikian halnya di Indonesia, Peradilan Islam mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan umat Islam, komunitas terbesar dalam kehidupan masyarakat bangsa Indonesia. Oleh karena itu, Peradilan Islam pada masa Kesultanan Islam, masa penjajahan, dan masa kemerdekaan bersifat majemuk. Kemajemukan Peradilan Islam di Indonesia dapat dilihat dari segi penyebutannya secara resmi atau tetelateur, kedudukannya dalam system Peradilan secara keseluruhan, susunan organisasi Pengadilan, Hirarki Instansial Pengadilan, cakupan kekuasaanya, dan hukum acara yang berlaku didalamnya.

a. Islam datang dan berkembang

Islam datang ke Indonesia dengan cara yang baik, sehingga dapat diterima dengan baik pula oleh lapisan masyarkat Indonesia. Islam masuk ke Indonesia dengan berbagai cara seperti perdagangan, politik, pendidikan, dan perkawinan. Ciri islam datang yaitu dengan adanya makam para leluhur yang sudah terlebih dahulu meninggalkan. Dengan demikian dapat diketahui bahwa sudah adanya penyebaran umat islam di suatiu wilayah yaitu dengan adanya makam-makam tersebut. Sedangkan Islam berkembang dapat dilihat dari adanya mesjid. Mesjid adalah tempat untuk beribadah atau tempat untuk melakukan perkumpulan umat islam. Dapat diketahui bahwa penghuni mesjid tersebut tidak seorang, tetapi banyak orang yang menjadi ciri bahwa penyebaran umat Islam sudah berkembang dan terus bertambah sehingga bisa menjadi kekuatan politik.

b. Islam menjadi kekuatan politik

Dalam perjalan Islam muncul, muncul berbagai pemikiran tentang Islam dalam berbagai bidang dan pranata sosial yang bercorak keislaman. Salah satu bagian dari pemikiran itu adalah bidang hukum Islam (fiqh), sedangkan pranata sosial yang bercorak keislaman itu adalah Peradilan Islam. Corak dan perkembangan Peradilan Islam sejalan dengan struktur, pola budaya, dan perkembangan masyarakat Islam di negara-negara yang bersangkutan. Dengan berkembangnya masyarakat islam, lahirlah kerajaan-kerajaan Islam yang kelak menjadi kekuatan politik, yang didalamnya terdapat Peradilan Islam. Penyebutan, kedudukan, susunan, serta kekuasaan satuan penyelenggara Peradilan Islam, yaitu Pengadilan pada masa kesultanan Islam sangat beraneka ragam, contohnya pada masa kesultanan mataram, ada pengadilan surambi karena diselenggarakan di serambi masjid agung.

c. Islam dan politik pada masa kesultanan dan penjajahan

Pada masa kesultanan, Pengadilan bervariatif, sesuai dengan kebijakan sultannya masing-masing. Contoh: di Banten hanya ada satu Pengadilan yang dipimpin oleh Kadi sebagai hakim tunggal. Di Cirebon, Pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili sultan, yaitu sultan sepuh, sultan anom, dan sultan penembahan Cirebon. Disamping itu, menurut Lev (1972: 10), di Kalimantan Selatan dan Timur, Sulawesi Selatan dan tempat-tempat lain, para hakim agama bisanya diangkat oleh penguasa setempat. Di daerah-daerah lain, seperti di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, tidak ada kedudukan tersendiri bagi penyelenggara Peradilan Islam.

Pada masa penjajahan belanda, penamaan pengadilan sangat bervariasi, Ia disebut Priesterraad, Godsdienstige Reschtpaak, dan Penghoeloe Gerecht. Ia merupakan penyelenggara Peradilan Islam dengan cakupan kekuasaan perkawinan dan kewarisan yang dilaksanakan secara sederhana. Menurut C. Van Vollenhoven (1981: 51), kedudukannya adalah sebagai berikut:
1. Dirangkaikan kepada Peradilan gubernemen di wilayah pemerintahan langsung.

2. Termasuk Peradilan Pribumi di wilayah pemerintahan langsung

3. Termasuk Peradilan Pribumi di wilayah Swapraja.

4. Dirangkaikan kepada Peradolan Gubernemen di wilayah Swapraja.

5. Termasuk Peradilan Pribumi di wilayah yang tidak langsung.

Ref:

Cik Hasan Bisri: 1997