Translate

Cek Semua No Resi Anda Di Sini

PERADILAN ISLAM PADA MASA KESULTANAN

Setelah Islam menjadi kekuatan politik yaitu dengan cara masuk pada seluruh kesultanan, maka pimpinan kesultanan tersebut menilai bahwa pentingnya suatu Peradilan yang mengatur masalah-masalah yang timbul di masyarakat khususnya perkara perdata. Dengan demikian para pemimpin tersebut mengangklat pejabat agama yang dianggap dapat mengadili perkara-perkara tersebut. Pertumbuhan dan perkembangan Peradilan Agama pada masa kesultanan Ilsam bercorak majemuk. Kemajemukan tersebut sangat bergantung pada proses Islamisasi yang dilakukan oleh pejabat agama dan ulama bebas dari kalangan pesantren dan bentuk integrasi antara hukum Islam dengan kaidah lokal yang hidup dan berkembang sebelumnya. Kemajemukan Peradilan itu terletak pada otonomi dan perkembangannya, yang berada pada lingkungan kesultanan masing-masing.

Menurut R.Tresna 1977:17) dengan masuknya agama Islam ke Indonesia, maka tata hukum di Indonesia mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum Pradata, tetapi juga memasukan pengaruhnya kedalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumya. Pada masa pemerintahan sultan Agung di Mataram Peradilan dilaksanakan di surambi mesjid, sehingga Peradilan pada masa ini disebut Peradilan Surambi. Peradilan ini dipimpin oleh penghulu yang didampingi oleh beberapa orang ulama dari pesantern sebagai anggota majelis. Hasil dari keputusan Peradilan ini akan menjadi pertimbangan untuk Sultan Agung dalam menyelesaikan perkara. Pada dasarnya pimpinan Pengadilan tersebut adalah seorang Sultan, dan keputusan dari Sultan Agung tidak pernah bertentangan dengan keputusan dari Penghulu. Setelah masa Sultan agung berakhir, kemudian digantikan oleh Susuhunan Amangkurat Ke I (1645), ia menghidupkan kembali pengadilan pradata. Alasannya karena dia tidak begitu suka terhadap pemuka-pemuka islam dan ia berusaha mengurangi pengaruh alim ulama dalam Pengadilan.

Menurut R. Tresna (1977:18) diwaktu Amangkurat ke I, di Ibu Kota kerajaan ada 4 orang jaksa, yang harus menerima segala perkara yang diajukan dari segala sudut kerajaan dan mempersiapkannya untuk dihadapkan kepada Pengadilan Raja. Pengadilan Pradata, dimana perkara-perkara diadili oleh raja sendiri, hanya diadakan di Negara agung, yaitu pusat pemerintahan, ibu kota Negara. Dalam perkembangan berikutnya Pengadilan Surambi masih menunjukan keberadaannya sampai masa penjajahan. Wewenang Pengadilan tersebut masih terbatas yaitu menyelesaikan perselisihan dan persengketaan perkawinan dan kewarisan. Orang-orang banten sudah memeluk agama islam sebelum kekuasaan negara direbut oleh Faltehan. Sehingga Pengadilan di Banten disusun menurut pengertian islam. Menurut R.Tresna (1977:23) jikalau sebelum tahun 1600 pernah juga ada bentukan-bentukaan Pengadilan yang berdasar pada hukum Hindu, seperti yang mungkin pernah ada dibawah kekuasaan Pakuan Pajajran. Maka di waktu Sultan Hasanudin memegang kekuasaan sudah tidak nampak lagi bekas-bekasnya sedikitpun. Bagaimanapun juga, pada abad ke 17 di Banten itu hanya ada satu macam Pengadilan, yaitu yang dipimpin oleh qadhi sebagai hakim seorang diri. Kesultanan di Cirebon didirikan pada waktu yang hampir sama dengan kesultanan Banten. Sehingga masih terikat pada norma-norma hukum dan adat kebiasaan Jawa-Kuno. Di Cirebon, Pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga orang sultan, yaitu Sultan Anom, Sultan Sepuh dan Panembahan Cirebon. Dengan demikian, jika ada suatu persidangan maka ada beberapa orang perwakilan dari ketiga orang Sultan tersebut. Kitab Hukum yang digunakan adalah papakem Cirebon.