Translate

Cek Semua No Resi Anda Di Sini

PERKEMBANGAN PERADILAN ISLAM KESULTANAN MATARAM

A. Pendahuluan

Sebelum Islam mulai masuk ke Indonesia, di Indonesia sendiri telah terdapat dua macam Peradilan yang berbeda, baik di lihat dari segi materi hukumnya maupun dari lingkungan kekuasaannya. Adapun macam peradilan tersebut yakni Peradilan Perdata dan Peradilan Padu. Jika di lihat dari segi materi hukumnya, Peradilan Perdata bersumber dari hukum Hindu, sedangkan Peradilan Padu bersumber dari hukum Indonesia asli. Aturan-aturan hukum Perdata dilukiskan dalam Papakem atau kitab hukum, sehingga menjadi hukum tertulis, sedangkan hukum Padu bersumber pada hukum kebiasaan dalam praktik sehari-hari sehingga disebut sebagai hukum tidak tertulis.

Dengan masuknya agama Islam ke Indonesia yang untuk pertama kali pada abad pertama Hijriyah atau bertepatan dengan abad ketujuh Masehi yang dibawa langsung dari Arab oleh saudagar-saudagar dari mekkah dan Madinnah yang sekaligus sebagai mubaligh. Maka dalam praktik sehari-hari, masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang bersumber pada kitab-kitab fikih. Di dalam kitab-kitab fikih termuat aturan dan tata cara ibadah seperti taharah, shalat, puasa, zakat, dan haji serta sistem peradilan yang disebut qadha (Basiq Djalil. 2006: 33).

Pada masa kekuasaan Sultan Agung, beliau merubah sistem Peradilan yang ada dengan memasukkan unsur hukum dan ajaran di bawah pengaruh Islam. Sultan Agung mewujudkannya khusus dalam Pengadilan Pradata yakni dengan cara memasukkan orang-orang dari kalangan Islam ke dalam Peradilan Pradata. Setelah Mataram terpecah menjadi dua wilayah yakni Jogyakarta dan Surakarta, Kumpeni lebih turut campur dalam urusan Peradilan di kedua negara itu. Ketika Sultan Agung mengadakan perubahan di dalam tata-Pengadilan di Mataram maka dengan sendirinya perubahan itu dilakukan pula di tanah Priangan. Tata-usaha Pengadilan di Priangan diatur menurut tata-usaha Pengadilan di Mataram. Akan tetapi ini hanya mengenai perkara Padu saja, perkara-perkara yang termasuk perkara Pradata harus dikirimkan ke Mataram.

Dengan awal masuknya agama Islam ke Indonesia, maka tata hukum yang ada pada Indonesia sendiri banyak sekali mengalami perubahan. Hukum Islam tidak hanya menggantikan hukum Hindu, yang berwujud dalam hukum Pradata tetapi juga memasukkan pengaruhnya ke dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat pada umumnya. Meskipun hukum asli masih menunjukkan keberadaannya, tetapi hukum Islam telah merembes di kalangan para penganutnya terutama hukum keluarga.

B. Pembahasan

Sultan Agung merupakan seorang raja yang sangat terkenal diwilayah Mataram karena sifatnya yang sangat alim dan beliau sangat menjunjung tinggi agama yang dianutnya. Pada saat memegang kekuasaannya, Sultan Agung merubah sistem Peradilan yang ada dengan memasukkan unsur hukum dan ajaran di bawah pengaruh Islam. Adapun perubahannya, langkah awal Sultan Agung mewujudkannya khusus dalam Pengadilan Pradata yakni dengan cara memasukkan orang-orang dari kalangan Islam ke dalam Peradilan Pradata.

Pada saat Sultan Agung memegang kekuasaannya ini, Sultan Agung banyak sekali mengambil kebijakan politik hukumnya dengan cara mengisi lembaga yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat di negara Mataram itu sendiri dengan prinsip-prinsip keislaman. Setelah Sultan Agung merasa bahwa kondisi masyarakatnya telah siap dan dapat memahami semua kebijakan yang diambil oleh Sultan Agung, maka Peradilan Pradata yang ada diubah namanya dengan istilah Pengadilan Surambi, karena pada saat Sultan Agung memegang kekuasaannya, Pengadilan yang dilaksanakan tidak lagi mengambil tempat di Sitinggil melainkan di serambi mesjid agung. Walaupun Sultan Agung merubah sistem Peradilan namun Sultan Agung tidak merombak lembaga Peradilan yang telah ada sebelumnya atau membuat sebuah Peradilan khusus menurut hukum Islam yang hanya mengenal qadli. Adapun perkara-perkara kejahatan yang menjadi urusan Pengadilan Serambi ini dinamakan dengan istilah Kisas, padahal pada kenyataannya istilah tersebut sangatlah tidak sesuai jika dibandingkan dengan arti kata yang sebenarnya pada Kisas dalam hukum Islam.

Dalam pimpinan Pengadilan, meskipun di dalam prinsip pimpinan Pengadilan tersebut masih di pegang oleh raja dan beralih ke tangan penghulu dengan bantuan dari beberapa orang alim ulama sebagai anggota, maka ini adalah suatu penyimpangan dari bentuk Pengadilan menurut hukum Islam itu sendiri yang dalam pelaksanaannya hanya mengenal figur hakim seorang diri saja yang dikenal dengan istilah Kadhi.

Pengadilan Surambi yang diciptakan oleh Sultan Agung ini berbanding terbalik dengan pimpinan sebelumnya yang pernah ada, bahwasannya Pengadilan Surambi ini adalah suatu Pengadilan yang dalam menyelesaikan perkara-perkaranya itu mengambil keputusan dari hasil musyawarah. Pengadilan Surambi sangat sesuai dengan pengertian hukum pada asalnya (asli). Pengadilan Surambi dikatakan sangat sesuai dengan pengertian hukum pada asalnya dikarenakan Pengadilan itu pada dasarnya adalah merupakan suatu Collegiate Rechtspraak.

Keputusan-keputusan yang diambil oleh Pengadilan Surambi mempunyai arti suatu nasehat (adpis) kepada raja didalam mengambil keputusannya. Tidak mustahil sistem ini dipilih buat Surambi, untuk memelihara kedaulatan raja, yang berkuasa sendiri memberikan keputusan. Akan tetapi di dalam praktek, Sultan Agung tidak pernah mengambil keputusan yang menyimpang atau bertentangan dengan nasehat pengadilan Surambi, hal mana buat seterusnya menguatkan kedudukan dan menambah kewibawaan Pengadilan Surambi di mata rakyat (Tresna. 1978: 18).

Pada tahun 1645, Sultan Agung digantikan kekuasaannya oleh Susuhunan Amangkurat I. Susuhunan Amangkurat I ini berusaha agar dapat mengurangi pengaruh para alim ulama dalam suatu Pengadilan yang ada, dikarenakan Susuhunan Amangkurat I pada saat itu tidak menyukai para pemuka-pemuka Islam dan Amangkurat I menginginkan bahwasannya pucuk kepemimpinan berada di tangan raja. Walaupun Amangkurat I melakukan perubahan kebijakan namun semua itu tidak menyebabkan Pengadilan Surambi tersingkirkan bahkan Pengadilan ini masih tetap dapat bertahan walaupun berada dalam masa Kolonial Belanda dan kekuasaannya di batasi.

Pada tahun 1656, Pengadilan Pradata dihidupkan kembali oleh Susuhunan Amangkurat I setelah Susuhunan Amangkurat I memegang tapuk kepemimpinan Pengadilan raja pada saat itu yang disaksikan oleh Ryckloff van Goens. Semua perkara-perkara yang ada, tidak lagi diselesaikan secara musyawarah melainkan diadili oleh raja sendiri dan dalam pelaksanaan Peradilannya itu hanya di laksanakan atau di lakukan di pusat pemerintahannya saja, yakni di negara agung sebagai ibu kota Negara.

Selain itu, perkara-perkara pradata yang ada baik itu dari tiap-tiap daerah maupun bekas negara-negara yang telah takluk pada Mataram, semua perkara-perkara pradata di tarik untuk diselesaikan di negara agung yakni pusat pemerintahan sekaligus ibu kota dari Mataram itu sendiri, sehingga pusat Pengadilan semua daerah-daerah dan negara-negara yang posisinya pada saat itu berada dalam petaklukan Mataram berpusat pula di negara agung, namun perkara-perkara padu di negara-negara petaklukan itu tetap diadili oleh jaksa pada tiap masing-masing daerahnya.

Pengadilan Pradata yang berada di negara agung difasilitasi oleh empat orang jaksa yang memiliki tugas dan kewajiban untuk menerima segala perkara yang diajukan dan mempersiapkannya untuk dihadapkan kepada Pengadilan raja. Adapun keempat orang jaksa yang berada di Pengadilan negara agung tersebut menggunakan kitab-kitab hukum dalam menjalankan tugasnya sekaligus di dalam memajukan dakwaannya, para jaksa tersebut selalu memperingatkan raja terhadap ketentuan-ketentuan di dalam kitab-kitab hukum yang sudah pasti berkenaan dengan jenis perkaranya tetapi dalam mempertimbangkan dan menjatuhkan keputusannya, raja sama sekali tidak terikat akan ketentuan-ketentuan kitab hukum manapun.

Pada tahun 1677 adalah suatu tahun dimana kekuasaan Mataram mulai jatuh dari yang awalnya Mataram adalah sebuah negara yang berdaulat penuh atas semua kekuasaan Peradilan. Pada saat itu, Kumpeni mulai masuk dan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap negara Mataram. Amangkurat II ingin berusaha mematahkan perlawanan dari Trujono. Langkah awal dari Amangkurat II untuk berusaha mematahkan perlawanan dari Trujono adalah mengadakan perjanjian dengan Kumpeni yang menempatkan Mataram dalam kedudukan daerah protektorat dari Kumpeni. Adapun isi dari perjanjian yang dilakukan Amangkurat II dengan Kumpeni adalah “Bahwa bukan saja Mataram harus menyerahkan sebagian besar dari wilayahnya kepada Kumpeni, akan tetapi buat selanjutnya semua bangsa asing yang menjadi penduduk kerajaan atau yang kemudian bertempat tinggal dalam wilayah kerajaan, ditempatkan dibawah pemerintahan, kekuasaan dan Pengadilan Kumpeni” (Tresna. 1978: 18).

Dalam perjanjian yang dilakukan itu sangatlah merugikan khususnya dalam bidang kedaulatan Mataram itu sendiri. Keadaan inilah yang menyebabkan Amangkurat II dan raja-raja setelahnya mengundurkan diri dari segala urusan yang sifatnya cendrung terhadap Peradilan dan memberikan kekuasaannya menjalankan Peradilan kepada para pejabat-pejabatnya dengan mengatas namakan dirinya.

Tidak lama kemudian Mataram terpecah menjadi dua bagian yakni Jogyakarta dan Suryakarta. Dengan perpecahan ini maka Kumpeni lebih bebas lagi mencampuri segala urusan Peradilan yang ada pada dua negara tersebut. Sebagai upaya untuk menjamin kepentingan umum dan terjaminnya hak-hak perorangan, dan terlindunginya hak asasi beragama, dibentuk suatu lembaga Peradilan Agama meski baru berupa pengembangan bentuk tauliyah dari penguasa. Hal ini dapat dipahami karena jabatan dan fungsi hakim merupakan alat perlengkapan dalam pelaksanaan hukum syara’, sekaligus juga merupakan perangkat institusi yang mutlak ada dalam sebuah pemerintahan. Disamping itu dalam siyasah syar’iyah, hakim dan qadli merupakan kekuasaan yang tak terpisahkan dari ahkam sulthaniyah. Pemahaman fikih yang memasyarakat bahwa Peradilan atau qadla merupakan fardhu kifayah bagi umat Islam yang mesti dilaksanakan dalam berbagai keadaan (Abdul Halim. 2000: 41).

C. Penutup

Sejak awal Islam masuk ke Indonesia yang di bawa langsung dari Arab oleh saudagar-saudagar dari Mekkah dan Madinah yang sekaligus sebagai mubaligh pada abad pertama Hijriyah, masyarakat mulai melaksanakan ajaran dan aturan-aturan agama Islam yang bersumber pada kitab fikih. Di dalam kitab-kitab fikih tersebut terdapat aturan dan tata cara ibadah.

Kerajaan Islam yang paling penting yaitu Demak (yang kemudian diganti oleh Mataram), Cirebon dan Banten. Di Indonesia Timur yang paling penting adalah Goa di Sulawesi Selatan dan Ternate yang pengaruhnya meluas hingga kepulauan Filipina. Di Sumatera yang paling penting adalah Acah yang wilayahnya, meliputi wilayah Melayu. Keadaan terpencar kerajaan-kerajaan Indonesia dan hubungannya dengan negara-negara tetangga, Malaysia dan Filipina” (Abdul Halim 2000: 39).

Untuk pembahasan perkembangan peradilan agama masa kerajaan Mataram (1613-1645) yang pada saat itu di perintah oleh Sultan Agung dan pada saat itu juga sebelum pengaruh Islam masuk ke sistem Peradilan yang berkembang sebelumnya adalah ajaran Hindu. Ketika itu, perkara dibagi menjadi dua bagian yaitu perkara yang menjadi urusan raja, yang disebut dengan Pradata dan perkara yang bukan urusan raja, disebut Padu. Dari segi materi hukumnya, hukum Pradata bersumber dari ajaran hindu, sementara perkara Padu bersumber pada hukum adat. Disini dijelaskan bahwa yang termasuk kedalam perkara Pradata adalah perkara yang berhubungan langsung dengan keamanan Negara (stabilitas kerajaan), keamanan dan ketertiban umum, penganiayaan, perampokan, pencurian. Pelanggaran dalam hal ini secara langsung raja yang memproses dan memutuskan hukumnya. Sedangkan perkara yang termasuk kedalam perkara Padu adalah berkaitan dengan masalah pribadi seperti perselisihan antara rakyat yang tidak dapat di damaikan di lingkungannya masing-masing.

Munculnya Mataram menjadi kerajaan Islam, dibawah pemerintahan Sultan Agung mulai diadakan perubahan dalam sistem Peradilan dengan memasukkan unsur hukum dan ajaran agama Islam dengan cara memasukkan orang-orang Islam ke dalam Peradilan Pradata. Dengan demikian Sultan Agung tidak merombak lembaga yang telah ada atau mebuat peradilan khusus menurut hukum Islam yang hanya mengenal qadhi. Sultan Agung juga tidak memakai cara konfrontatif tetapi justru integrative dan komplementatif terhadap hukum dan peradilan yang telah ada.

Pada saat Sultan Agung memegang kekuasaannya di Mataram, Sultan Agung banyak sekali mengambil kebijakan politik hukumnya dengan mengisi lembaga yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat di negara Mataram itu sendiri dengan prinsip-prinsip Islam. Setelah Sultan Agung merasa bahwa kondisi masyarakatnya telah siap dan dapat memahami semua kebijakan yang diambil oleh Sultan Agung, maka Peradilan Pradata yang ada diubah namanya dengan istilah Pengadilan Surambi, karena pada saat Sultan Agung memegang kekuasaannya, Pengadilan dilaksanakan di serambi mesjid agung. Pada tahun 1645, Sultan Agung di gantikan kekuasaannya oleh Amangkurat I. Pada masa Amangkurat I inilah Pengadilan Pradata dihidupkan kembali, karena Amangkurat I tidak begitu suka kepada pemuka-pemuka Islam maka dengan cara itulah Amangkurat I dapat mengurangi pengaruh alim ulama di pengadilan.

“Pada tahun 1677, adalah titik permulaan jatuhnya kekuasaan Mataram sebagai negara yang berdaulat penuh. Pada tahun ini, kumpeni mulai memasukkan pengaruhnya ke dalam tubuh negara. Untuk dapat mematahkan perlawanan Trujono, Amangkurat II mengadakan perjanjian dengan kumpeni yang pada hakekatnya menempatkan Mataram dalam kedudukan daerah protektorat dari kumpeni” (Tresna. 1978: 19).

Pengadilan di Banten disusun menurut pengertian Islam. Pada masa Sultan Hasanuddin memegang kekuasaan, pengaruh hukum Hindu sudah tidak lagi berbekas, karena di Banten hanya ada satu Pengadilan yang dipimpin oleh Kadhi sebagai hakim tunggal. Sedangkan di Cirebon Pengadilan dilaksanakan oleh tujuh orang menteri yang mewakili tiga sultan, yaitu Sultan Sepuh, Sultan Anom, Sultan Panembahan Cirebon. Segala acara yang menjadi sidang menteri itu diputuskan menurut Undang-undang Jawa. Kitab hukum yang digunakan yaitu Papekem Cirebon, yang merupakan kumpulan macam-macam hukum Jawa-Kuno, memuat kitab hukum Raja Niscaya, Undang-undang Mataram, Jaya Lengkara, Kontra Menawa dan Adilulah. Namun, satu hal yang tidak dapat dipungkiri bahwa dalam Papakem Cirebon itu nampak adanya pengaruh hukum Islam (Cik. 1997: 96).

Peradilan di Priangan, para penjajah menginginkan kekuasaan yang langgeng di negara jajahannya, mereka banyak sekali melakukan penelitian terhadap pradanata-pradanata kemasyarakatan, pola sistem kemasyarakatan, dan kekuasaan dalam masyarakat, termasuk tentang Peradilan pun di teliti oleh mereka. Di tanah Priangan terdapat tiga macam Pengadilan yakni Pengadilan Agama, Pengadilan Drimaga, dan Pengadilan Cilaga.

Di Aceh, pelaksanaan hukum Islam menyatu dengan Pengadilan dan diselenggarakan secara berjenjang. Tingkat pertama dilaksanakan oleh tingkat Pengadilan tingkat kampung yang dipimpin oleh keucik. Pengadilan itu hanya menangani perkara-perkara ringan sedangkan perkara-perkara yang berat diselenggarakan oleh Balai Hukum Mukim. Apabila pihak berperkara tidak merasa puas atas putusan pengadilan tingkat pertama dapat mengajukan banding kepada uleebalang (pengadilan tingkat kedua). Selanjutnya dapat diajukan banding kepada Panglima Sagi. Selanjutnya dapat dilakukan banding kepada sultan yang pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung yang keanggotaannya terdiri atas alikul Adil, Orang Kaya Sri Paduka Tuan, Orang Kaya Raja Bandhara, dan Fakih (Cik. 1997: 115).

Belanda memberikan kebijakan yakni dengan mengadakan reorganisasi pengadilan serta menghilangkan campur tangan dari penghulu maupun pejabat yang lainnya dalam urusan Pengadilan. Selanjutnya Pemerintah Hindia-Belanda pada tahun 1828 melalui ketetapan Komisaris Jendral tanggal 12 Maret No. 17 khusus untuk daerah jakarta sendiri di tiap-tiap distrik yang diantaranya terdiri dari komandan distrik sebagai ketua serta para penghulu masjid dan kepala wilayah sebagai anggota. Majelis tersebut memiliki wewenang untuk menyelesaikan semua sengketa yang menyangkut keagamaan yakni persoalan perkawinan dan pusaka sepanjang tidak ada pengaturan oleh para pihak dengan akta notaris.

Daftar Pustaka

Abdul Halim. 2000. Peradilan Agama dalam Politik Hukum di Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Basiq Djalil, A. 2006. Peradilan Agama di Indonesia. Cetakan Pertama. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Cik Hasan Bisri. 1997. Peradilan Islam dalam Tatanan Masyarakat Indonesia, Cetakan Pertama. Bandung: Remaja Rosdakarya.

_____________, 2000. Peradilan Agama di Indonesia, Cetakan Ketiga. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

Tresna, R. 1978. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad, Cetakan Ketiga. Jakarta: Pradinya Paramita.