Translate

Cek Semua No Resi Anda Di Sini

Contoh Bab I Skripsi (Proposal Judul)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan Peradilan yang berada dibawahnya dalam lingkungan Peradilan Umum, lingkungan Peradilan Agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi. Pengadilan pada ke-empat lingkungan peradilan itu memiliki cakupan dan batasan kekuasaan masing-masing. Cakupan dan batasan pemberian kekuasaan untuk mengadili itu ditentu-kan oleh bidang yuridiksi yang dilimpahkan undang-undang kepadanya (Cik Hasan Bisri, 1997: 162).

Menurut pasal 25 ayat 3 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, Peradilan Agama berwenang memeriksa, mengadili, me-mutus dan menyelesaikan perkara antara orang-orang yang beragama Islam sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pengadilan Agama merupakan salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, yang bertugas menegakkan hukum dan ke-adilan. Dalam menegakkan hukum dan keadilan ini, Pengadilan agama bertugas dan berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat per-tama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang : Perkawinan, kewarisan, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah.

Pengadilan Agama Bandung pada tahun 2007 menerima 1843 perkara. Salah satu perkara yang diterima dan diselesaikan adalah perkara gugatan wakaf tanah antara UR sebagai penggugat melawan Kepala Dinas P & K Kota Bandung sebagai tergugat dan turut tergugat. Perkara mengenai wakaf tanah masuk ke Pengadilan Agama Bandung pada tahun 2007, berdasarkan surat gugatan ter-tanggal 09 Pebruari 2007 yang kemudian terdaftar dalam buku register perkara Nomor 273/Pdt.G/2007/PA.Bdg. Pengadilan Agama Bandung telah memeriksa, mengadili, dan memberikan putusan terhadap perkara mengenai wakaf tanah ini. Perkara ini diputus pada tanggal 06 September 2007.

Pengdilan Agama Bandung telah mengeluarkan keputusannya dalam bentuk putuasn Nomor 273/Pdt.G/2007/PA.Bdg tentang wakaf tanah.

Putusan yang dikeluarkan harus memuat dasar hukum yang dipergunakan oleh Majelis Hakim dalalm memutus perkara. Dasar hukum adalah dasar hakim dalam memutuskan apakah alasan-alasan penggugat menurut hukum yang berlaku dapat membenarkan atau dapat mendukung tuntutan yang diajukannya (Subekti, 1989: 125). Dasar hukum yang dijadikan sebagai dasar penerapan hukum oleh hakim dalam memutus perkara, haruslah memperhatikan hukum tertulis ataupun hukum tidak tertulis.

Putusan pengadilan juga memperhatikan hukum yang hidup dalam masya-rakat, sebagimana diatur dalam pasal 62 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu “Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang ber-sangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Putusan Pengadilan ini menarik untuk diteliti, karena dalam putusan ter-sebut memutuskan bahwa wakaf tanah yang dilakukan oleh tergugat sah demi hukum, dengan pertimbangan bahwa pada dasarnya hukum Islam tidak menentu-kan bentuk tertentu untuk membuat wakaf. Ikrar wakaf yang dilakukan dari seorang muslim tidak harus berupa tulisan saja, tetapi wakaf yang dilakukan secara lisan pun bisa dianggap sah dan sempurna jika ikrar wakaf tersebut di-ketahui atau disaksikan oleh lebih dari 2 orang saksi, bahkan dengan isyaratpun diperbolehkan bagi orang yang tidak bisa menulis dan bicara. Ketentuan pasal 1320 KUH Perdata "Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya" tidak terpenuhi, karena pada dasarnya tanah tersebut telah diwakafkan secara lisan oleh majusi (bapak penggugat) sewaktu ia masih hidup yakni pada tahun 1957. Oleh karena itu, tidak ada peralihan hak atas harta warisan. Ikrar wakaf tanah tersebut tidak dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum tetapi dikategorikan sebagai perbuatan shadaqah.

B. Masalah Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, menunjukan bahwa putusan itu merupakan penerapan hukum yang berlaku baik dari hukum tertulis maupun tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Di lain pihak, putusan itu merupakan peng-galian dan penemuan hukum dari nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.

Suatu putusan harus mengandung beberapa unsur, yaitu sumber hukum, hukum tertulis, hukum tidak tertulis, dan pemeriksaan perkara.

Bahwa dengan hal itu, diajukan beberapa pertanyaan sebagai berikut:

1. Hukum apa yang diterapkan dalam putusan Pengadilan Agama Bandung tentang Wakaf Tanah?

2. Nilai-nilai hukum apa yang digali dan ditemukan dalam putusan Pengadilan Agama itu?

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:

a. Mengetahui penerapan hukum dalam putusan tersebut.

b. Mengetahui nilai-nilai hukum yang digali dan ditemukan dalam putusan Pengadilan Agama itu.

2. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini memiliki beberapa kegunaan, sebagai berikut:

a. Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap wacana keilmuan di kalangan civitas akademika, khususnya mahasiswa dalam mengembangkan kajian pranata peradilan islam.

b. Hasil penelitian juga diharapkan berguna bagi pengembangan pengetahuan ilmiah di bidang hukum Islam dan pranata sosial dikalangan praktisi hukum, khususnya dalam penemuan dan penerapan hukum serta nilai-nilai hukum dalam produk pengadilan terhadap suatu peristiwa hukum yang terjadi di dalam masyarakat.

D. Tinjauan Pustaka

1. Penegakan hukum

Menurut Cik Hasan Bisri (2006: 73), penegakan hukum adalah upaya dan proses pemberlakukan dan supermasi hukum melalui badan kekuasaan kehakiman (pengadilan), baik berkenaan dengan Hukum Perdata dan Tata Usaha Negara maupun Hukum Pidana. Sedangkan menurut Soerjono Soekanto (2002: 3), penegakkan hukum adalah kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang ter-jabarkan di dalam kaidah-kaidah yang mantap sikap tindak sebagai rangkaian pen-jabaran nilai tahap akhir untuk menciptakan, memelihara, dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Pendapat yang lain juga dikemukakan oleh Bagir Manan (2004: 99), bahwa penegakkan hukum merupakan reaksi atau suatu peristiwa yang tidak sesuai atau bertentangan dengan hukum.

Menurut Cik Hasan Bisri (1996: 89-99), penegakan hukum dalam ke-hidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara tergantung kepada empat unsur sebagai suatu kesatuan yaitu:

1. Unsur perangkat hukum nasional dalam bentuk tertulis dan tidak tertulis yang menjamin kepastian hukum, perlindungan hukum, dan ketertiban hukum yang berintikan keadilan dan kebenaran.

2. Unsur aparatur penegak hukum yang memiliki kemampuan untuk menerapkan dan menegakkan hukum.

3. Unsur kesadaran hukum masyarakat atau kemauan masyarakat untuk meng-hargai dan mentaati hukum yang berlaku.

4. Unsur sarana dan prasarana dalam penerapan dan penegakan hukum.

Adapun menurut Soerjono Soekanto (2002: 5), faktor-faktor yang mem-pengaruhi penegakkan hukum itu ada lima, yaitu pertama, faktor hukum itu sendiri baik hukum tertulis atau hukum tidak tertulis. Kedua, faktor penegak hukum yakni pihak-pihak yang membentuk maupun yang menerapkan hukum. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakkan hukum. Ke-empat, faktor masyarakat yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau diterapkan. Kelima, faktor kebudayaan yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan.

2. Putusan Pengadilan

Menurut Abdul Manan (2005: 292), putusan adalah kesimpulan akhir yang diambil oleh majelis hakim yang diberi wewenang untuk itu dalam menyelesaikan atau mengakhiri suatu sengketa antara pihak-pihak yang berperkara dan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum.

Dalam pasal 62 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo pasal 50 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, yaitu ”Putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili”.

Secara sederhana putusan pengadilan itu sendiri ada enam bagian yang tersusun secara kronologis dan saling kait-mengkait satu sama lain, yaitu: (1) Kepala putusan, (2) identitas para pihak, (3) duduknya perkara atau tentang kejadianya, (4), tentang pertimbangan hukumnya, (5) tentang amar putusan, (6) Bagian penutup (Abdul Manan, 2006: 292-296).

Dari segi jenisnya, putusan terdiri dari dua macam, yaitu putusan sela (tussen vonnis) dan putusan akhir (eind vonnis). Putusan sela adalah putusan yang diadakan sebelum hakim memutus perkaranya, yaitu untuk memungkinkan atau untuk mempermudah kelanjutan pemeriksaan perkara. Putusan sela ini merupakan putusan yang diambil oleh hakim sebelum ia menjatuhkan putusan akhir. Putusan sela ini terdiri dari empat macam: pertama, putusan prepqaratoir yaitu putusan sebagai persiapan putusan akhir, tanpa mempunyai pengaruhnya atas pokok per-kara atau putusan akhir. Kedua, putusan interlakutoir yaitu putusan sela yang mempengaruhi akan bunyi putusan akhir itu. Ketiga, putusan provisional yaitu putusan yang menjawab tuntutan provisional, yaitu permintaan pihak yang ber-sangkutan agar sementara diadakan tindakan pendahuluan guna kepentingan salah satu pihak sebelum putusan akhir dijatuhkan. Keempat, putusan insidentil, yaitu putusan yang berhubungan dengan insiden, yakni suatu peristiwa atau kejadian yang menghentikan prosedur peradilan biasa, putusan insidentil belum mem-punyai hubungan dengan pokok perkara. Sedangkan yang dimaksud dengan putusan akhir adalah putusan yang mengakhiri pemeriksaan suatu perkara di pengadilan (Umar Mansyur, 1991: 179-180).

Dari segi sifatnya, putusan terdiri dari tiga macam yaitu: declaratoir. Consitutif, dan condemnatoir. Putusan declaratoir adalah putusan yang berisi pernyataan atau penegasan tentang suatu keadaan atau kedudukan hukum semata-mata. Putusan consitutif adalah putusan yang memastikan suatu keadaan hukum, baik yang bersifat meniadakan suatu keadaan hukum maupun yang menimbulkan keadaan hukum baru. Sedangkan putusan condemnatoir adalah putusan yang me-muat amar menghukum salah satu pihak yang berperkara. (Abdul Manan, 2008: 276-277).

Menurut Roihan A Rasyid (2002; 202), putusan mempunyai tiga kekuatan. Yaitu kekuatan mengikat (bidende kracht) kekuatan bukti (bewijzende kracht) dan kekuatan eksekusi (executoriale kracht). Putusan memiliki kekuatan mengikat dan kekuatan bukti adalah setelah putusan tersebut mempunyai kekuatan hukum tetap. Suatu putusan dikatakan mempunyai kekuatan hukum tetap apabila upaya hukum verzet, banding, kasasi, tidak digunakan dan tenggang waktu untuk itu telah habis, atau telah mempegunakan upaya hukum tersebut dan sudah selesai. Upaya hukum terhadap putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap tidak ada lagi, kecuali permohonan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung tetapi hanya dengan alasan-alasan sangat tentu sekali. Putusan yang sudah mempunyai ke-kuatan hukum tetap sekalipun ada dimohonkan ke Mahkamah Agung tidak ter-halang untuk dieksekusi, itulah yang dikatakan mempunyai kekuatan eksekusi.

Hakim dalam mengambil keputusan, harus berpedoman kepada hukum acara yang berlaku di Pengadilan Agama, sebagaimana diatur dalam pasal 54 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1987, yaitu "Hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah hukum acara yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali yang telah diatur secara khusus dalam undang-undang”.

Menurut Cik Hasan Bisri (1997: 33), hal itu menunjukan bahwa hukum acara yang berlaku adalah hukum tertulis sebagaimana yang berlaku pada peng-adilan dalam lingkungan Peradilan Umum, disamping adanya kekecualian dan kekhususan yang diatur dalam undang-undang tersebut. Kekhususan itu meliputi prosedur cerai talak, cerai gugat, cerai dengan alasan zina, dan biaya perkara.

Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara tersebut. Oleh karena itu, majelis hakim sebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap dari penggugat dan tergugat, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan. Terhadap hal yang terakhir ini, majelis hakim harus mengonstatir dan meng-kualifisir peristiwa dan fakta tersebut sehingga ditemukan peristiwa atau fakta yang konkrit. Setelah majelis hakim menemukan peristiwa dan fakta secara objektif, maka majelis hakim berusaha menemukan hukumnya secara tepat dan akurat terhadap peristiwa yang terjadi itu. Jika dasar-dasar hukum yang dikemu- kakan oleh para pihak-pihak yang berperkara kurang lengkap, maka majelis hakim karena jabatannya dapat menambah atau melengkapi dasar-dasar hukum itu se-panjang tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara, hal ini sebagaimana diatur dalam pasal 178 ayat (1) HIR dan pasal 189 (1) RBG.

3. Penemuan Hukum

Menurut Soedikno Mertokusumo (2006: 36) penemuann hukum adalah proses pembentukan hukum oleh hakim atau aparat hukum lainnya yang ditugas-kan untuk penerapan peraturan-peraturan umum pada peristiwa yang konkrit.

Dalam usaha menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa dalam persidangan, majelis hakim dapat mencarinya dalam: 1. Kitab-kitab perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis, 2. Kepala adat dan pe-nasehat agama sebagaimana yang tersebut dalam pasal 44 dan 15 ordonansi adat bagi hukum yang tidak tertulis, 3. Sumber yurisprudensi, dengan catatan bahwa hakim sama sekali tidak boleh terikat dengan putusan-putusan yang terdahulu itu. Ia dapat menyimpang atau berbeda pendapat jika ia yakin terdapat ketidakbenaran atas putusan atau tidak sesuai dengan perkembangan hukum kontemporer. Tetapi hakim dapat berpedoman sepanjang putusan tersebut dapat memenuhi rasa ke-adilan bagi para pihak–pihak yang bersangkutan, 4. Tulisan-tulisan ilmiah para pakar hukum, dan buku-buku ilmu pengetahuan lain yang ada sangkut pautnya dengan perkara yang sedang diperiksa (Abdul Manan, 2005:278).

Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber sebagaimana terdapat diatas. Jika tidak ditemukan dalam sumber-sumber tersebut maka ia harus men-carinya dengan mempergunakan metode interprestasi dan konstruksi. Metode interprestasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang, masih berpegang kepada teks itu, sedangkan metode konstruksi hakim menggunakan penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, dimana hakim tidak lagi terikat dan berpegang kepada bunyi teks itu, tetapi dengan hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.

Menurut Abdul Manan (2005: 286-289), pada hakim dilingkkungan Per-adilan Agama dalam mengambil keputusan terhadap perkara yang diperiksa dan diadili hendaknya melalui proses tahapan-tahapan sebagi berikut: 1. Perumusan masalah atau pokok sengketa, 2. Pengumpulan data dalam proses pembuktian, 3. Analisa data untuk menemukan fakta, 4. Penemuan hukum dan penerapannya, 5. Pengambilan keputusan.

E. Kerangka Berpikir

Berdasarkan tinjauan pustaka di atas dapat dibuat kerangka berpikir tentang penelitian putusan pengadilan. Penelitian ini lebih menitik beratkan pada isi keputusan peradilan islam yang merupakan produk peradilan, baik itu putusan terhadap perkara gugatan yang mengandung sengketa di antara penggugat dan tergugat atau jurisdiction contentiosa, maupun penetapan dalam perkara per-mohonan, berikut skema kerangka berpikir putusan pengadilan.

Gambar 1 Kerangka Berpikir Putusan Pengadilan

(Keseluruhan Diadaptasi Dari Cik Hasan Bisri, 2004: 250)


Keterangan : Hubungan searah (langsung)

Hubungan searah (tidak langsung)

Hubungan fungsional

Berdasarkan skema di atas, terlihat bahwa putusan pengadilan memiliki enam unsur yang saling berhubungan satu sama lain dan terintegrasi, yaitu: sumber hukum tertulis, sumber hukum tak tertulis, hukum tertulis, hukum tak tertulis, pemeriksaan perkara, dan putusan pengadilan berupa naskah yang ber-kekuatan hukum tetap (in kracht) .

Berkenaan dengan hal itu, dapat dirumuskan kerangka berpikir berikut ini. Putusan pengadilan merupakan wujud penerapan hukum tertulis dan hukum tak tertulis yang berlaku terhadap sebuah peristiwa hukum di dalam masyarakat, dimana hukum tertulis dan tidak tertulis masing-masing berdiri sendiri, tetapi memiliki hubungan fungsional. Selain itu, putusan pengadilan juga merupakan wujud penggalian dan penemuan hukum dari nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat sebagaimana ketentuan pasal 25 ayat (1) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Jo pasal 50 ayat (1) Undang-undang No 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Putusan pengadilan didasarkan pada hukum tertulis yang terdiri dari hukum substantif dan hukum formil prosedural yang terkodifikasi. Prinsip ini diatur dalam pasal 50 Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Jo pasal 62 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Prinsip dasar ini dianut dalam sistem peradilan di Indonesia untuk me-wujudkan kepastian hukum, penyederhanaan hukum dan kesatuan hukum.

Putusan pengadilan juga didasarkan pada hukum tidak tertulis, yaitu pandangan para ahli hukum dan fuqaha,dan hukum yang mengikat di masyarakat (adat). Putusan pengadilan tidak terlepas dari adanya nilai-nilai hukum yang hidup di dalam masyarakat, yang digali dan ditemukan oleh hakim sebagai penegak hukum, untuk memberikan rasa keadilan bagi pencari keadilan. Hal ini diatur dalam pasal 50 ayat (1) Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman.

Putusan pengadilan juga didasarkan pada pemeriksaan perkara oleh peng-adilan sesuai dengan hukum prosedural yang berlaku dalam lingkungan Peradilan Agama. Yakni mulai dari surat gugatan, Replik, Duplik, pembuktian sampai kesimpulan. Baik itu terhadap perkara yang menjadi kewenangan absolut maupun kewenangan relatif. Sebagaimana diatur dalam pasal 49 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama Jo pasal 49 Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Jo Undang-undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Pengadilan Agama.

F. Langkah-langkah Penelitian

1. Metode penelitian

Penelitian ini menggunakan metode analisis isi, yaitu dengan cara menaf-sirkan seluruh isi putusan pengadilan berdasarkan pada penerapan hukum dan pe-nemuan hukum dari nilai-nilai hukum yang hidup dan berkembang dari para pihak. Dalam hal ini adalah analisis terhadap berkas putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor 273 Tahun 2007 yang merupakan data dokumenter. Penafsiran yang digunakan adalah penafsiran sistematis. Penafsiran sistematis adalah penaf-siran menilik susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainya baik dalam undang-undang itu maupun dengan undang-undang yang lain, dalam hal ini Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang menjadi dasar Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik.

2. Jenis Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah:

a. Penerapan hukum, meliputi hukum perwakafan dan hukum acara perdata dalam putusan tersebut.

b. Penemuan hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat dalam pu-tusan tersebut.

3. Sumber data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Putusan Pengadilan Agama Bandung Nomor 273 Tahun 2007 tentang Wakaf Tanah.

b. Berita Acara Persidangan (BAP).

c. Surat-surat kelengkapan perkara (dokumen hukum) berupa sertifikat/buku tanah hak milik., surat kuasa penggugat dan kutipan akta kelahiran.

d. Wawancara dengan Drs. Zezen Zainal Abidin salah satu hakim yang memutus perkara tersebut. Wawancara meliputi:

1. Penerapan hukum dalam putusan tersebut .

2. Penemuan hukum dalam perkara tersebut.

4. Pengumpuan Data

a. Studi Dokumentasi

Pengumpulan data yang dilakukan dalam penelitian ini dikumpulkan me-lalui teknik studi dokumentasi terhadap salinan putusan, berita acara serta berkas-berkas lain yang berhubungan dengan putusan ini. Adapun cara-cara studi doku-mentasi dilakukan melalui beberapa tahapan sebagai berikut:

1. Putusan dibaca dan dipelajari.

2. Dicari dasar hukum dari putusan tersebut, baik hukum tertulis maupun hukum tidak tertulis.

3. Dicari pertimbangan hukum dan nilai-nilai hukum serta alasan-alasan yang dikemukakan dalam putusan.

4. Alasan-alasan tersebut dihubungkan dengan berita acara persidangan.

5. Mengklasifikasikan dokumen-dokumen tersebut menjadi 2 kelas data yaitu penerapan hukum dan penemuan hukum. Kelas data penerapan hukum mem-punyai sub kelas data perwakafan dan hukum acara perdata, sedangkan kelas data Penemuan hukum mempunyai sub kelas data metode penemuan hukum dan teknik pengambilan putusan.

b. Wawancara

Wawancara dilakukan untuk melengkapi isi dari dokumen tersebut. Adapun tahapan wawancara sebagai berikut:

1. Menyusun daftar pertanyaan.

2. Mengadakan janji dengan salah satu anggota Majelis Hakim yang memutus perkara tersebut, dalam hal ini wawancara dilakukan dengan Drs. Zezen Zainal Abidin.

3. Menyalin hasil wawancara yang dilakukan dengan cara direkam kedalam catatan khusus.

4. Dari hasil salinan tersebut kemudian diklasifikasikan menjadi dua kelas data yaitu penerapan hukum dan penemuan hukum.

5. Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini adalah melalui tahapan sebagai berikut:

a. Seleksi terhadap data-data yang telah dikumpulkan, dalam hal ini adalah putus-an Pengadilan Agama Bandung Nomor 273 Tahun 2007 tentang Wakaf Tanah, kemudian dilakukan pengklasifikasian data. Adapun klasifikasi mengenai pu-tusan tersebut dibagi ke dalam dua kategori, yaitu:

1. Mengenai penerapan hukum dalam putusan tersebut, baik dari segi hukum perwakafan maupun hukum acara perdata.

2. Mengenai penemuan hukum dalam putusan tersebut.

b. Menelaah seluruh data dan mengklasifikasikan data dengan merujuk kepada kerangka berpikir dan tujuan penelitian dari data yang diperoleh.

c. Menghubungkan data dengan teori yang sudah dikemukakan dalam kerangka berpikir.

d. Menarik kesimpulan dari data yang dianalisis.